Oleh: Derry Fahrizal Ulum, Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI
“Kini peranan media semakin diperkuat dengan perkembangan teknologi dan jejaring sosial. Di tengah-tengah perkembangan media ini, terjadi juga perubahan dalam dinamisme media, masyarakat, dan politik global” –Erwin Renaldi–
ABSTRACT
Media Globalization does not recognize national boundaries. Indonesia is one of induced state emerged of American and Europe magazine Indonesian version and also inudating program display and record product without can be barricaded. How applying of press constitutions and broadcast constitutions referring to this problem? How government attitude? How is media role to facing the global challenge, especially the impact to Indonesian culture and society? Is there any solution?
Key words: culture, society, media, globalization
ABSTRAK
Globalisasi tidak mengenal batas-batas negara. Begitu juga dengan media yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh globalisasi. Indonesia merupakan salah satu negara yang diinduksi muncul majalah Amerika dan Eropa versi Indonesia. Program-program televisi dan produk rekaman juga terus bermunculan tanpa dapat dibendung. Bagaimana menerapkan konstitusi pers dan konstitusi siaran mengacu pada masalah ini? Bagaimana sikap pemerintah? Bagaimana peran media untuk menghadapi tantangan global, khususnya dampak terhadap budaya dan masyarakat Indonesia? Apakah ada solusi?
Kata kunci: budaya, masyarakat, media, globalisasi
Peran Media dalam Kehidupan Sosial
Peran media dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern (era globalisasi) tidak ada yang menyangkal, menurut McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories (2000 : 66), ada enam perspektif dalam hal melihat peran media:
Pertama, melihat media massa seabagai window on event and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.
Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para pengelola media sering merasa tidak “bersalah” jika isi media penuh dengan kekerasan, konflik, pornografi dan berbagai keburukan lain, karena memang menurut mereka faktanya demikian, media hanya sebagai refleksi fakta, terlepas dari suka atau tidak suka. Padahal sesungguhnya, angle, arah dan framing dari isi yang dianggap sebagai cermin realitas tersebut diputuskan oleh para profesional media, dan khalayak tidak sepenuhnya bebas untuk mengetahui apa yang mereka inginkan.
Ketiga, memandang media sebagai filter, atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi atau bentuk content yang lain berdasar standar para pengelolanya. Di sini khalayak “dipilihkan” oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian.
Keempat, media acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam.
Kelima, melihat media sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkin terjadinya tanggapan dan umpan balik.
Keenam, media sebagai interlocutor, yang tidak hanya sekadar tempat berlalu-lalangnya informasi, tetapi juga partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif.
Pendeknya, semua itu ingin menunjukkkan, peran media dalam kehidupan sosial bukan sekedar sarana diversion, pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi dan informasi yang disajikan, mempunyai peran yang signifikan dalam proses sosial. Isi media merupakan konsumsi otak bagi khalayaknya, sehingga apa yang ada di media akan mempengaruhi realitas subjektif pelaku interaksi sosial. Gambaran tentang realitas yang dibentuk oleh isi media inilah yang nantinya mendasari respon dan sikap khalayak terhadap berbagai objek sosial. Informasi yang salah dari media akan memunculkan gambaran yang salah pula terhadap objek sosial itu. Karenanya media dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian media.
Globalisasi Media dan Dampaknya pada Indonesia sebagai Negara Berkembang
Bertolak dari besarnya peran media dalam mempengaruhi pemikiran khalayaknya, tentulah perkembangan media di Indonesia pada akan datang harus dipikirkan lagi. Apalagi menghadapi globalisasi media yang tak terelakan lagi.
Globalisasi media merupakan proses yang secara alami terjadi, sebagaimana jatuhnya sinar matahari, sebagaimana jatuhnya hujan atau meteor. Pendekatan profesional menjadi kata kunci, masalah dasarnya mudah diterka. Pada titik-titik tertentu, terjadi benturan antar budaya dari luar negeri yang tak dikenal oleh bangsa Indonesia. Jadi kekhawatiran besar terasakan benar adanya ancaman, serbuan, penaklukan, pelunturan karena nilai-nilai luhur dalam paham kebangsaan.
Imbasnya adalah munculnya majalah-majalah Amerika dan Eropa versi Indonesia seperti: Bazaar, Cosmopolitan, Spice, FHM (For Him Magazine), Good Housekeeping, Trax, dan sebagainya. Begitu pula membajirnya program-program tayangan dan produk rekaman tanpa dapat dibendung.
Lantas bagaimana bagi negara berkembang seperti Indonesia menyikapi fenomena transformasi media terhadap perilaku masyarakat dan budaya? Bukankah globalisasi media dengan segala nilai yang dibawanya seperti lewat televisi, radio, majalah, koran, buku, film, VCD dan kini melalui internet sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan masyarakat?
Saat ini masyarakat Indonesia sedang mengalamai serbuan yang hebat dari berbagai produk pornografi berupa tabloid, majalah, buku bacaan di media cetak, televisi, radio dan terutama adalah peredaran bebas VCD. Baik yang datang dari luar negeri maupun yang diproduksi sendiri. Walaupun media pornografis bukan barang baru bagi Indonesia, namun tidak pernah dalam skala seluas sekarang. Bahkan beberapa orang asing menganggap Indonesia sebagai “surga pornografi” karena sangat mudahnya mendapatkan produk-produk pornografi dan harganya pun murah.
Kebebasan pers yang muncul pada awal reformasi ternyata dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang tidak bertanggungjawab, untuk menerbitkan produk-produk pornografi. Mereka menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang dijamin sebagai hak asasi warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran serta pembredelan. Padahal dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 itu sendiri, mencantumkan bahwa pers berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat (pasal 5 ayat 1).
Dalam media audio-visualpun, ada Undang-undang yang secara spesifik mengatur pornografi, yaitu Undang-Undang Perfilman dan Undang-Undang Penyiaran. Dalam UU Perfilman 1992 pasal 33 dinyatakan bahwa setiap film dan reklame film yang akan diedarkan atau dipertunjukkkan di Indonesia, wajib sensor terlebih dahulu. Pasal 19 dari UU ini menyebutkan bahwa LSF (Lembaga Sensor Film) harus menolak sebuah film yang menonjolkan adegan seks lebih dari 50 % jam tayang. Dalam UU Penyiaran pasal 36 dinyatakan bahwa isi siaran televisi dan radio dilarang menonjolkan unsur cabul (ayat 5) dan dilarang merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama dan martabat manusia Indonesia (ayat 6).
Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tentang peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum semua warga negara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa berada. Begitulah, misalnya, banjir informasi dan budaya baru yang dibawa media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku. Terutama masalah pornografi, dimana sekarang wanita-wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan Eropa yang dalam berbusana cenderung minim, kemudian ditiru habis-habisan. Sehingga kalau kita berjalan-jalan di mall atau tempat publik sangat mudah menemui wanita Indonesia yang berpakaian serba minim mengumbar aurat. Di mana budaya itu sangat bertentangan dengan norma yang ada di Indonesia. Belum lagi maraknya kehidupan free sex di kalangan remaja masa kini. Terbukti dengan adanya video porno yang pemerannya adalah orang-orang Indonesia.
Di sini pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa bodoh melihat perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Menghimbau dan kalau perlu melarang berbagai sepak terjang masyarakat yang berperilaku tidak semestinya. Misalnya ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono, menyarankan agar televisi tidak menayangkan goyang erotis dengan puser atau perut kelihatan. Ternyata dampaknya cukup terasa, banyak televisi yang akhirnya tidak menayangkan para artis yang berpakaian minim.
Sekarang di Indonesia bermunculan lembaga-lembaga media watch yang keras terhadap pers sebagai jawaban terhadap kian maraknya penerbitan yang bisa disebut “pers kuning”, “Massen Preese” dan “Geschaft Presse”. Melalui media pun, kita dapat membangun opini publik, karena media mempunyai kekuatan mengkonstruksi masyarakat. Misalnya melalui pemberitaan tentang dampak negatif pornografi, komentar para ahli dan tokoh-tokoh masyarakat yang anti pornografi atau anti media pornografi serta tulisan-tulisan, gambar dan surat pembaca yang berisikan realitas yang dihadapi masyarakat dengan maraknya pornografi, maka media dapat dengan cepat mengkonstrusikan masyarakat secara luas karena jangkauannya yang jauh.
Dalam masyarakat terutama di daerah pedesaan, dikenal adanya opinion leader atau pemuka pendapat. Mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak laku dalam cara-cara tertentu. Menurut Rogers (1983), pemuka pendapat memainkan peranan penting dalam penyebaran informasi. Melalui hubungan sosial yang intim, para pemuka pendapat berperan menyampaikan pesan-pesan, ide-ide dan informasi-informasi baru kepada masyarakat. Melalui pemuka pendapat seperti tokoh agama, sesepuh desa, kepala desa, pesan-pesan tentang bahaya media pornografi dapat disampaikan.
Tapi yang lebih penting lagi adalah ketegasan pemerintah dalam menerapkan hukum baik Undang-Undang Pers, Undang-Undang Perfilman dan Undang-Undang Penyiaran secara tegas dan konsiten di samping tentu saja partisipasi dari masyarakat untuk bersam-sama mencegah dampak buruk dari globalisasi media yang kalau dibiarkan bisa menghancurkan negeri ini.
Peranan Media dalam Mendidik dan Mempengaruhi Pola Hidup Masyarakat
Perkembangan media begitu cepat sehingga berdampak pada berbagai sendi kehidupan manusia. Dalam memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, lembaga pendidikan mempunyai tanggung jawab mempersiapkan dan menghasilkan sumber daya manusia yang mampu menghadapi semua tantangan perubahan yang ada disekitarnya yang berjalan sangat cepat. Bahkan sebagai dampak globalisasi mengakibatkan terjadinya persaingan secara bebas dalam dunia pendidikan maupun tenaga kerja. Kondisi tersebut menuntut perlu adanya suatu sistem pendidikan yang bermutu yaitu sistem pendidikan yang mampu menyediakan sumber daya manusia yang dapat bersaing dalam menghadapi persaingan global. Karena itu pendidikan perlu diarahkan agar mampu menyediakan sumber daya manusia yang mampu menghadapi tantangan zaman secara efektif sejak usia sekolah dengan memanfaatkan kemajuan terknologi.
Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk membangun dan meningkatkan mutu SDM. Peningkatan ini menuju era globalisasi yang penuh dengan tantangan. Sehingga pendidikan disadari merupakan sesuatu yang sangat fundamenal bagi setiap individu. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan tidak dapat diabaikan begitu saja, terutama dalam memasuki era persaingan yang semakin ketat, tajam, dan berat pada era teknologi informasi saat ini.
Perkembangan teknologi informasi pada saat ini sangat pesat. Banyak media informasi menawarkan kemudahan dalam memberikan informasi dengan cepat kepada masyarakat. Media informasi, khususnya media massa, selain memberikan banyak informasi tetapi juga sudah menjadi bagian dari masyarakat kita, terutama pada era teknologi informasi saat ini. Media massa dibagi menjadi dua, yaitu media elektronik dan media cetak. Keduanya memiliki peranan yang penting dalam memberikan informasi dan mencerdaskan masyarakat. Hal itu sejalan dengan upaya dari pendidikan untuk membangun dan meningkatkan mutu SDM memasuki era persaingan.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi pendidikan di Indonesia di atas, maka perlunya sebuah solusi yang dapat menjawab tantangan tersebut. Karena pada saat ini pendidikan di Indonesia lebih mementingkan prestasi kognitifnya, dibandingkan membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian dan berakhlak. Seperti yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia di dalam tujuan pendidikan nasional. Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat saat ini memiliki peranan yang sangat besar dalam dinamika pendidikan. Khususnya pada media, lebih khusus media massa, baik cetak maupun elektronik yang dengan mudah dapat diakses oleh siapa pun. Media massa sebagai sarana dan saluran resmi alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas (KBBI, 2008). Peranan media massa dalam dinamika pendidikan seperti sebuah “pisau”. Di satu sisi media massa dapat menjadi sarana pendidikan yang sangat efektif. Tetapi di satu sisi media massa pun dapat menjadi salah satu penyebab bergesernya nilai-nilai moral dalam kehidupan generasi muda saati ini. Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini dapat dimanfaatkan sebagai media untuk menyebarkan informasi mengenai penanaman nilai-nilai moral kembali kepada masyarakat. Tidak hanya untuk menyebarkan informasi saja, tetapi media massa juga harus mampu menginspirasi masyarakat untuk kembali menanamkan nilai-nilai moral di dalam kehidupan. Dengan begitu pemanfaatan media massa sebagai sarana pendidikan untuk mengembalikan nilai-nilai tersebut adalah salah satu solusi sementara dari beragam masalah di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Karena pendidikan bukanlah seperti mengisi ember, melainkan seperti menyalakan api (William Butler Yeats, 1865-1939).
Media massa radio, televisi, dan surat kabar lebih sering dilihat dari sisi bisnis, sebagai mesin pencetak uang. Padahal fungsi utamanya bukan di situ. Fungsi utama media cetak adalah informasi sedangkan elektronik hiburan. Yang terpenting lagi keduanya memadukan unsur pendidikan. Yang dapat berakibat positif serta negatif. Karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa Media massa adalah sebuah kekuatan yang sangat menentukan apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui masyarakat. Kepercayaan akan kekuatan itulah yang menyebabkan para pengiklan di seluruh dunia mengalirkan uang berlimpah kepada media untuk memasarkan produk mereka. Tapi kepercayaan akan kekuatan itu pula yang menyebabkan banyak pemerintah otoriter di dunia berusaha mengendalikan dunia.
Dengan begitu bisa dipahami bila kemerdekaan pers dipandang sebagai salah satu ukuran utama terselenggaranya demokrasi di sebuah negara. Gagasan intinya adalah bahwa dengan kemerdekaan itu akan hadir sebuah public sphere – ruang luas tempat orang bisa bertukar informasi secara bebas, setara dan terbuka.
Pengendalian media oleh pemerintah dikutuk karena itu dipercaya akan membatasi pilihan informasi yang dapat diakses masyarakat luas. Bila pemerintah diberi kewenangan politik untuk mengontrol media, mereka akan memanfaatkannya untuk mencegah beredarnya informasi yang bertentangan dengan kepentingan mereka. Tapi terbebas dari kontrol pemerintah ternyata tidak dengan sendirinya menyebabkan masyarakat memperoleh keragaman informasi. Ancaman bisa datang dari arah berbeda: para pemodal. Ketika segenap perangkat peraturan yang membatasi wewenang pemerintah dalam mengontrol media sudah tersedia, hak masyarakat atas keberagaman informasi tetap terancam oleh kemampuan para pemodal untuk menentukan isi media
Sebenarnya masalah tak akan terlalu rumit kalau saja kita percaya bahwa independensi jurnalis profesional di sebuah negara terjamin. Salah satu prinsip penting dari kemerdekaan pers adalah kemerdekaan wartawan dalam menjalankan profesinya dari campur tangan pemilik. Masalahnya, kondisi ideal semacam itu masih menjadi kemewahan bagi media di negara berkembang, khususnya di Indonesia, terutama industri penyiaran. Berbeda dengan banyak surat kabar yang dibangun atas dasar cita – cita demokratisasi, kebanyakan stasiun TV nasional di Indonesia dimodali oleh para pengusaha dan pedagang.
Karena itu segenap perbincangan tentang independensi wartawan, obyektivitas, ketidakberpihakan, pemberitaan berimbang, adalah rangkaian hal yang mungkin baik tapi tidak penting bagi TV. Kepentingan mereka bukan demokrasi. Dalam sistem penyiaran Indonesia, intervensi kepentingan pemodal dan pemilik tampil sangat nyata, misal: Metro TV dijadikan sarana kampanye politik Surya Paloh di Indonesia. Jadi apa yang akan terjadi? Yang paling dikhawatirkan tentu saja adalah kalau itu bergerak ke arah pemusatan kepemilikan yang berimplikasi pada penunggalan informasi ala Orde Baru.
Sekarang, terbentuk kelompok media yang besar dengan kepemilikan yang makin terkonsentrasi, sehingga proses pembelian media sedang terjadi dimana-mana. Gejala ini mungkin hanya meningkatkan keuntungan bagi beberapa orang yang terlibat dalam industri media. Terjadilah konglomerasi. Bila dilihat dari sudut pandang ruang publik, hal ini tidak menjamin terlayaninya kepentingan publik (public interest). Banyaknya media belum tentu menjamin terpenuhinya content yang menjadi kepentingan publik. Konglomerat tentu bertujuan memaksimalkan keuntungan, mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. Dengan sendirinya hal ini berpengaruh pada isi media. Terjadi hegemonisasi dan trivialisasi (membuat sesuatu yang tidak penting) karena berbenturan dan menyesuaikan kepentingan akan keuntungan bisnis.
Dalam hal ini media berperan menyebarkan dan memperkuat hegemoni dominan untuk membangun dukungan masyarakat dengan cara mempengaruhi dan membentuk alam pikirannya agar mengikuti apa yang dilakukan media. Media dengan kekusaannya memperkenalkan, membentuk, dan menanamkan pandangan tertentu kepada khalayak. Apa yang diberitakan dalam surat kabar, radio, televisi dan film dapat direkayasa, sesuai keinginan dan tujuan yang dikehendaki pemilik modal ditambah fakta-fakta pendukung. Hal ini terjadi juga pada media di beberapa wilayah. Nampaknya terjadi, saya di media berkuasa, maka saya dapat membuat opini publik..
Contoh lain film yang kita konsumsi kebanyakan dari dunia barat seperti Amerika, yang membangun masyarakat dunia bahwa Amerika hebat, superhero, polisi dunia, penyelamat dunia. Film-filmnya menggambarkan Amerika sebagai sosok “jagoan”. Kita menjadi percaya bahwa semua tindakan Amerika adalah untuk kepentingan seluruh bangsa di dunia. Hal lainnya dalam dunia fashion. Semua remaja putri, ibu-ibu, dan anak laki-lakipun mengikuti gaya busana yang terus menerus muncul di media, berganti hingga ada mode baru yang ditampilkan. Media selalu memunculkan remaja putri dengan rambut lurus berponi, kaus ketat, jeans boot cut, dan sepatu hak tinggi. Karenanya ramai-ramai rambut di re-bounding, termasuk ibu-ibu yang bekerudungpun mengikuti gaya ini. Kalau rambut mengembang datang ke kampus, rasanya kurang percaya diri. Konsep cantik dan gantengpun diberikan oleh media. Tampan adalah seperti dalam film Meteor Garden dan cantik adalah berkulit putih, berambut panjang dan kebule-bulean.
Media yang paling mudah di akses adalah televisi. Menurut Rachmiatie (2009:68) budaya yang diperkenalkan dan terus menerus disosialisasikan televisi bercorak pop atau urban, padahal kita tahu masyarakat Indonesia sangat majemuk. Dalam sinetron remaja, televisikah? yang mengajarkan orang tua untuk memberi izin anaknya yang masih duduk di SMP untuk menyetir mobil sendiri ke sekolah, bahkan dengan ikhlas membuatkan SIM tembak untuk anaknya? Televisikah? yang mengajarkan anak-anak usia sekolah saat ini boleh keluar malam dan pulang pagi? Tentu kita masih ingat kasus Smack Down yang mengajarkan kekerasan. Meski hanya hiburan, anak-anak tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang permainan, terjadi peniruan tingkah laku (Isna: 2007). Semuanya menjadi wajar. Tidak heran jika nampak di kota-kota besar, kriminalitas dilakukan remaja, keseragaman dalam cara bergaul, cara berpakaian, dan gaya hidup yang berlebih di kalangan remaja, bahkan anak-anakpun mengikuti bergaya dewasa.
Media sebagai Institusi Ekonomi di Masyarakat: Peran Penting dalam Menghadapi Tantangan Global
Perkembangan eknomi secara berkesinambungan telah menjadi isu sosial politik di mana media memiliki peran penting. Di satu sisi mereka menyampaikan informasi untuk mengedukasi dan meningkatkan sensitivitas masyarakat umum. Di sisi lain, mereka bertugas sebagai watchdogs, menyoroti masalah dan siapa yang bertanggungjawab untuk hal yang berpengaruh secara luas.
Banyak orang lupa arti penting media dalam ekonomi, peradaban, dalam kehidupan bermasyarakat, dalam demokrasi, saat media berkembang menjadi industri yang melahap triliunan rupiah per tahun. Sebagai contoh: pertelevisian bukan industri biasa Secara keseluruhan peningkatan jumlah media massa merupakan isyarat baik bagi kebebasan media seiring demokratisasi ekonomi dan politik. Selanjutnya tentu saja timbul persaingan dalam media. Keadaannya semakin ketat karena mencakup kompetisi. Ada tiga kelompok kompetisi, yaitu: Kompetisi antar media cetak; Kompetisi antar media elektronik radio dan televisi; serta Kompetisi antara media cetak dan media elektronik. Kompetisi ini tidak hanya meliputi aspek isi, penyajian berita atau bentuk liputan lainnya, tetapi juga periklanan. sehingga cara, gaya dan strategi kompetisi masing-masing media massa berpartisipasi sebagai respons terhadap tuntutan pasar. Pengiklanlah yang direspon, bukan pembaca, penonton, atau pendengar media. Oleh karena itu hampir semua isi media nampak seragam.
Media massa tidak lagi menjadi institusi yang terpisah dari kondisi di sekitarnya. Kini media massa harus didudukkan selayaknya institusi ekonomi di mana informasi diolah dan disajikan sebatas sebagai komoditas dalam parameter laku tidaknya dijual. Menurut pakar Komunikasi UI, Dedy Nur Hidayat dalam Pramono (2012), media merupakan salah satu elemen dari konfigurasi yang besar. Media ada dalam triangulasi hubungan antara negara, pasar dan civil society. Media menjadi komponen yang menjembatani hubungan segitiga itu, tapi media harus juga dilihat ujud kepentingan sendiri. Hubungan triangulasi bisa juga diterapkan pada masa sebelumnya, tapi pada masa reformasi perimbangannya sudah berubah. Dulu hubungan itu sangat didominasi oleh negara, sekarang pasar yang lebih dominan. Civil society sekalipun sudah menonjol perannya, tapi masih belum “cukup dewasa” dan masih banyak diintervensi dan dapat dengan mudah dimanfaatkan. Kebebasan pers tidak bisa dilihat terpisah dari kebebasan publik untuk menyampaikan pendidikan.
Dominasi modal dalam industri pers merugikan publik yang tidak punya akses sebagaimana yang seharusnya dimiliki.Juga jurnalis akan dirugikan. Media komunikasi telah berkembang dengan pesatnya dalam bentuk media cetak dan elektronik. Perkembangan ini membawa kemudahan kita untuk berkomunikasi dan menerima informasi dengan cepat kemana saja dan kapan saja dengan mudah dan murah tentunya. Disisi lain juga membawa hal yang negatif terutama bagi perkembangan anak dan remaja, serta orang dewasa. Dengan kata lain membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat. Disinilah diperlukan media literacy atau melek media sehingga masyarakat mengetahui apa media itu. Media menyajikan melalui proses yang panjang. Apa yang ditampilkan bukanlah 100 persen yang sebenarnya. Muatan politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya mudah dimasukkan. Maka diperlukan pengetahuan untuk memahami media.
Dahulu berkomunikasi memerlukan waktu dan tidak cepat mendapat respon. Sekarang, seiring perkembangan teknologi, media baru muncul sebagai alternatif yang digunakan masyarakat yang hemat waktu, mudah dan efektif. Masyarakat mulai tenggelam dalam dunia yang dipenuhi oleh media. Dalam Media Now (2009) kehadiran teknologi media menjadikan konvergensi (titik temu) teknologi media, telekomunikasi, dan komputer. Teknologi mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Yang tadinya orang membaca suratkabar, kini beralih ke media online yang lebih murah dan media ini mudah diakses bahkan dapat dibaca lewat hand phone.
Menurut Everett M. Rogers dalam bukunya Communication Technology; The New Media in Society (Mulyana, 1999) mengatakan era hubungan komunikasi di masyarakat, terdiri dari era tulis, era media cetak, era media telekomunikasi dan era media komunikasi interaktif, yang dikenal dengan media komputer,videotext, teletext, teleconferencing, TV kabel dan sebagainya.
Perkembangan media cetak dan elektronik setelah reformasi di Indonesia sudah begitu cepat. Untuk media cetak yang awalnya banyak sekali, lama kelamaan jumlahnya menurun karena ketatnya persaingan. Media cetak yang dapat bertahan hanya yang masuk dalam kelompok media besar. Seperti kelompok Kompas Gramedia, Pos Kota, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, kelompok Femina, dan lain-lain.
Dengan kondisi seperti itu, bagaimana menempatkan media? Mau tidak mau, pertama-tama media harus dilihat sebagai institusi ekonomi institusi bisnis. Memang harus hati-hati agar tidak terjebak dalam economic determinism sehingga seolah-olah semua yang dilakukan media selalu didasari pertimbangan ekonomi. Demokratisasi politik dapat dilihat sebagai liberalisasi politik, datang satu paket dengan liberalisasi ekonomi. Di Indonesia juga begitu, karena itu, liberalisasi politik sangat renta terhadap kepentingan yang datang bersamaan dengan liberalisasi ekonomi tadi. Demokratisasi yang ada akan semakin banyak dimanfaatkan kelompok pemilik modal yang mampu masuk ke industri media. Apakah artinya media akan semakin tersegmentasi, setiap kelompok kepentingan memiliki corong masing-masing?
Idealnya tidak, karena semestinya ada media yang bisa menjembatani ketiga elemen tadi. Bukan malah lahir media milik pemerintah atau media swasta. Struktur media yang ada sekarang ini tidak terlepas dari latar belakang historis dan perimbangan kekuatan di masa lalu. Pasar industri media bukan realitas obyektif, tapi suatu konstruksi sosial yang tidak bisa lepas begitu saja dari konfigurasi masa lalu atau yang ada pada saat ini. Itu realitas yang tidak bisa kita terima begitu saja. Khususnya di era globalisasi, media lebih banyak menampilkan diri sebagai institusi ekonomi yang mencari untung dan mempergunakan kriteria ekonomi untuk mengukur kinerjanya ketika seharusnya media lebih berpijak pada kriteria kepentingan publik.
Sekarang media melihat publik lebih sebagai konsumen saja yang dipilah antara mereka yang punya daya beli dan yang tidak. Segmen publik yang tidak punya nilai ekonomi tidak akan dilayani, seperti suku minoritas yang tidak akan punya akses ke media. Kelompok mayoritas untuk kepentingan yang menguntungkan bagi rating akan lebih banyak ditampilkan. Yang jadi masalah, akses publik ke media akan ditentukan oleh faktor politik dan ekonomi
Media televisi menyediakan informasi dan kebutuhan manusia keseluruhan, seperti berita cuaca, informasi finansial atau katalog berbagai macam produksi barang. Kebebasan media tv dalam menayangkan film-film berbau porno, sadis atau menyangkut SARA, sering menimbulkan polemik dan konflik diantara pakar-pakar komunikasi massa, para agamawan, budayawan bahkan kaum moralis.
Dampak negatif lain yang menjadi perhatian dunia ketiga, yaitu terjadinya kesenjangan informasi antara negara-negara yang telah maju secara industri, ekonomi dan teknologi dengan negara-negara berkembang, dalam bentuk monopoli informasi. Kesenjangan informasi ini menjadi persoalan yang tidak pernah selesai. Setiap negara memiliki berbagai argumentasi serta kepentingan tersendiri terhadap penayangan informasi televisi.
Media televisi sebagai sarana tayang realitas sosial menjadi penting artinya bagi manusia untuk memantau diri manusia dalam kehidupan sosialnya. Selain itu, kualitas informasi yang ditayangkan televisi, juga menjadi tolok ukur untuk memantau sampai sejauh mana informasi tersebut benar-benar memiliki arti penting bagi hidup manusia secara moral maupun edukasi.
Televisi mudah menyebabkan penonton menjadi kosmopolit. Adanya budaya media, pada umumnya menjelaskan interdependensi manusia kepada media massa untuk memperoleh informasi dan hiburan. Media televisi sanggup menjauhkan manusia dari kenyataan hidup sehari-hari. Tetapi, TV juga dapat disebut sebagai ‘jendela dunia besar’, karena realitas sosial yang berhasil ditayangkannya.
Sekarang, terbentuk kelompok media yang besar dengan kepemilikan yang makin terkonsentrasi, sehingga proses pembelian media sedang terjadi dimana-mana. Gejala ini mungkin hanya meningkatkan keuntungan bagi beberapa orang yang terlibat dalam industri media. Terjadilah konglomerasi. Bila dilihat dari sudut pandang ruang publik, hal ini tidak menjamin terlayaninya kepentingan publik (public interest). Banyaknya media belum tentu menjamin terpenuhinya content yang menjadi kepentingan publik. Konglomerat tentu bertujuan memaksimalkan keuntungan, mengurangi biaya, dan meminimalkan resiko. Dengan sendirinya hal ini berpengaruh pada isi media. Terjadi hegemonisasi dan trivialisasi (membuat sesuatu yang tidak penting) karena berbenturan dan menyesuaikan kepentingan akan keuntungan bisnis.
Dalam hal ini media massa berperan menyebarkan dan memperkuat hegemoni dominan untuk membangun dukungan masyarakat dengan cara mempengaruhi dan membentuk alam pikirannya agar mengikuti apa yang dilakukan media. Media dengan kekusaannya memperkenalkan, membentuk, dan menanamkan pandangan tertentu kepada khalayak. Apa yang diberitakan dalam suratkabar, radio, televisi dan film dapat direkayasa, sesuai keinginan dan tujuan yang dikehendaki pemilik modal ditambah fakta-fakta pendukung. Hal ini terjadi juga pada media di beberaoa wilayah. Nampaknya terjadi, saya di media berkuasa, maka saya dapat membuat opini publik..
Peranan Media dalam Menghadapi Globalisasi di Masa Depan: Tantangan terhadap Pemerintah, Budaya, dan Masyarakat
Perkembangan teknologi secara global telah mengubah wajah media-media konvensional seperti koran, majalah, radio, dan televisi, terutama setelah munculnya Internet. Awalnya kemunculan internet ini tidak disangka oleh beberapa pengamat akan berdampak begitu besar pada banyak hal, mulai dari politik, ekonomi, sampai sosial. Internet sudah menjadi salah satu aspek kehidupan sehari-hari. Internet juga semakin mudah diakses dengan bermunculannya telepon genggam pintar atau smartphone dan gadget-gadget lainnya, seperti tablet.
Terlebih dengan semakin banyaknya penyedia pelayanan Internet di Indonesia yang menawarkan harga yang kompetitif dan mudah terjangkau, internet pun berhasil mengubah wajah media di negara-negara berkembang. Fenomena sekarang adalah orang mencari berita dan informasi melalui internet daripada mengharapkannya melalui radio. Persaingan diantara perusahaan dan pemilik media pun akan semakin meningkat. Perusahaan-perusahaan media yang memusatkan perhatian pada internet akan menjadi pesaing yang cukup keras bagi media tradisional, seperti media cetak, TV dan radio.
Jika kita berbicara tentang jejaring sosial yang semakin menguat: Indonesia adalah salah satu pengguna Facebook terbanyak di dunia. Menurut laporan majalah Forbes, meski kini telah dikalahkan oleh India, jumlah pengguna Facebook di Indonesia masih menduduki salah satu posisi teratas di dunia bersama dengan Brasil, India, Meksiko, Inggris Raya, dan negara asal Facebook, Amerika Serikat, yang masih memiliki pengguna Facebook terbanyak. Budiono Darsono, salah satu pendiri portal berita Detik.com, dalam review buku Detik.com: Legenda Media Online (2013) mengatakan dengan melihat jumlah pengguna jejaring sosial yang terus bertambah, maka tidak ada pilihan lain bagi media untuk memanfaatkannya sebagai bagian dari praktik jurnalisme. Jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter, bukan sekedar memberikan masukan atau kritik, tetapi juga malah memberikan informasi (Anggoro, 2013).
Di media mainstream tidak akan kelihatan bagaimana respon publik, karena ruang publiknya hanya lewat surat pembaca dan ruangnya terbatas. Berbeda dengan media online. Dan itu merupakan salah satu kunci yang sangat penting dalam perkembangan media. Tidak hanya membuat pembacanya menjadi lebih aktif berpartisipasi, jejaring sosial pun kini menjadi kontrol terhadap media itu sendiri. Masyarakat bisa dengan cepat melihat yang salah atau benar. Pengontrolnya itu satu negara. Sehingga pengelola media tidak bisa lagi seenaknya sendiri, bermain-main atau dikontrol oleh kepentingan pemodal atau politik tertentu.
Professor David Hill (2001) dalam Pers Indonesia dalam Konteks Asia: Gambaran Sepintas Lalumengatakan maraknya kemunculan media-media baru di Indonesia sebenarnya bisa menjadi hal yang menguntungkan. Tetapi, menurutnya, yang harus diwaspadai adalah soal kepemilikan media.
"Jangan sampai Indonesia meniru Australia, di mana hanya satu, dua orang saja atau sejumlah orang yang sangat kecil jumlahnya yang menguasai melalui kepemilikannya,"
Selama ini di Australia, menurutnya, sudah ada praktik tidak tertulis di mana mereka yang mengontrol media tidak melibatkan diri secara langsung, walaupun media masih memberikan warna di dalam gambaran keseluruhan suasana politik Australia. Di Australia, pemilik perusahaan media tahu diri untuk tidak ikut terjun langsung dalam kancah politik. Meski demikian, tetap saja ada praktik-praktik dimana beberapa media mendukung beberapa partai politik tertentu. Terutama saat pemilihan umum, beberapa kandidat mendekati media-media.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kebebasan media dan berekspresi di bisa dapat membantu proses demokrasi, terlepas dari kepentingan kekuasaan. Ataukah istilah "own the media, rules the world" memang terbukti? Siapa yang memenangkan media, maka ia akan menjadi penguasa?
Kebebasan pers, abad informasi, era globalisasi dan revolusi teknologi informasi, yang terjadi bersamaan, serentak, dan saling bertemu, serta saling memperkuat, telah membuat media massa menjadi kekuatan raksasa karena dalam urusan penyebaran informasi, dengan sendirinya media merupakan pemegang peran hampir tanpa saingan
Media dan orang-orang media, bisa dengan sangat mudah dan luar biasa cepat menyalurkan informasi ke target-target yang dituju, di seluruh penjuru dunia hanya dengan hitungan detik. Impian orang media untuk menggenggam dunia, kini bisa menjadi sebuah “dream comes true”. Bila di abad-abad lalu kita kagum pada keajaiban alam, kini kita kagum pada keajaiban supra modern – keajaiban teknologi – yang masih tetap belum bisa dimengerti dengan nalar.
Di abad ini ketidakadilan dunia tetap dikukuhkan. Revolusi informasi teknologi pun tak mampu memberikan jawaban. Orang-orang media memang bisa dengan cermat mengantisipasi agar informasi mengalir lancar ke target-target yang dituju dan menghitung dampak politik yang mereka kehendaki, untuk meyakinkan pada dunia bahwa di abad ini giliran media naik tahta, dengan kekuasaan besar di tangannya. Dan media, dengan sendirinya harus diperhitungkan oleh siapa pun. Media dan orang – orang media, sadar akan kekuatan ini.
Sekarang mudah bagi mereka memainkan kartu “truf” untuk memenangkan banyak kepentingan, termasuk kepentingan politik dan kepentingan pribadi. Sekarang media mudah kalau mau mengertak siapa pun, tapu tak mudah digertak seperti dulu. Tapi jangan lupa, kebebasan pers bukan hanya hasil kerja orang – orang media. Kaum intelektual, para profesional, dunia bisnis dan segenap warga negara yang memiliki kepedulian terhadap demokrasi dan kebebasan ekspresi, semua turut memberikan andil besar terhadap kebebasan pers sekarang.
Ketika media di atas angin dan berkuasa – setaraf atau bahkan lebih dari parlemen dan pemerintah,kerja politik publik untuk melakukan kontrol sosial menjadi lebih banyak. Dulu bersama media – dan ada kalanya dengan parlemen – kita mengontrol gerak-gerik politik pemerintah yang otoriter, kini publik yang bukan orang media harus mengontrol media juga. Kita harus berhati-hati, dan waspada karena media atau pers lembaga suci. Dan kekuatan di belakangnya pun bukan golongan orang-orang “maksum” yang dijamin kesuciannya. Kebanggaan orang-orang media, perasaan unggul mereka setelah tak lagi memiliki musuh politik, yang dulu bisa setiap saat menekan dan melarang memberitakan ini dan itu, diam-diam membuat mereka bisa mudah “menyimpang” dari khitah perjuangan demokrasi dan keadilan.
Kini orang cemas akan kemungkinan media jatuh di tangan pebisnis, yang bisnis utamanya bukan media. Di tangannya media bisa menjadi hantu tak terlawan Dan mudah menteror, bahkan membunuh nama baik siapa pun tiap detik. Wartawan tanpa media pun bayangan gelap yang mudah menteror untuk memeras orang lemah. Juga orang berduit. Tapi bukan hanya di tangan pebisnis, media bisa kejam. Di tangan politisi pun media bisa dipakai untuk tujuan gelap: antidemokrasi, antikeadilan, antikemanusiaan. Politisi berduit bisa menghancurkan lawan dengan media. Di tangan siapa pun, media harus dikawal ketat agar tidak mebelok ke dalam gelap. Media harus melindungi yang lemah. Dan bukan untuk mengancam dan mematikan kredibilitas orang lain. Persaingan bisnis dan politik, dilarang membawa-bawa media. Kalau tidak media rusak. Kemudian ia mati merana ditinggal pembacanya yang hanya akan membaca media yang punya kredibilitas moral dan politik yang kuat dan setia menjaga nama baiknya.
Lembaga negara Mahkamah Konstitusi merupakan contoh nyata dimana informasi merupakan “nilai yang berharga” bagi publik, dan bagaimana publik dapat memperolehnya dengan mudah.
Zaman akan berubah mengikuti arus budaya masyarakatnya, dan media harus beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Peningkatan kualitas diri dan komitmen terhadap diri dan masyarakat, merupakan aspek penting dalam menghadapi tantangan ke era keterbukaan informasi.
Pers dan kebudayaan bagaikan mata pisau, yang menjadi “bencana” bagi kehidupan publik dan perilaku masyarakat, karena mampu mendorong perubahan menuju keseimbangan kekuasaan, kearifan dan keunggulan lokal atau daerah. Di samping itu, secara politis termasuk sangat cukup berkorelasi dengan kekuasaan, karena bisa mempengaruhi kreativitas politik masyarakat terhadap perubahan orientasi, strategi, dan kebijakan politik. Sehingga, pers dan kebudayaan seringkali dimanfaatkan berbagai pihak baik negara maupun kelompok di tengah masyarakat untuk kepentingan berbeda-beda. Pada masa pemerintahan Orde Baru, yang berlangsung sejak 1968 hingga 1998 pers dengan media massa cetak maupun elekronik, dan kebudayaan dengan elemen seni, etnis dan agama seringkali dimanfaatkan sebagai pola strategis dalam mengkonstruksi legitimasi publik demi mencapai tujuan memenangkan persaingan di antara kelompok masyarakat untuk menandingi kekuatan negara. Sehingga, keberadaan pers dan kebudayaan seakan setali tiga uang, bagaikan terpenjara dan sangat terbatas. Bahkan, seringkali terjadi pembredelan media massa cetak dengan peristiwa berdarah yang disebut kisruh Malari, 15 Januari 1974. Sedikitnya, ketika itu tercatat selusin media massa cetak mengalami pembredelan atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) karena dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah. Di antaranya: Majalah Tempo, Detik, dan Editor. Namun, setelah presiden Soeharto lengser dan era reformasi mulai bergulir, pers dan kebudayaan seakan mulai mendapatkan angin segar dan memasuki babak baru. Bahkan, presiden Habibie – sebagai pengganti Soeharto – melalui Menteri Penerangan, M. Yunus Yosfiah pada tahun 1998 menghapus SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers). Karena dianggap sebagai bentuk kebijakan represif pemerintah terhadap kebebasan pers dan perkembangan kebudayaan. Langkah bijak dan strategis dalam mencapai puncak kebebasan pers itu semakin diperkuat oleh presiden, KH Abdurahman Wahid dengan membubarkan Departemen Penerangan.
Kemudian pers mendadak berkembang pesat bagaikan jamur di musim hujan dan ratusan media massa cetak maupun eletronik bermunculan dengan beragam informasi beritanya. Mulai masalah terkait SARA hingga pribadi semakin tumbuh subur sebagai konsumsi masyarakat publik. Di samping itu, beragam perubahan secara perlahan mulai terjadi di tengah masyarakat. Persoalan mulai keagamaan, sosial budaya, sosiologis, historis, politik, hingga gender seakan mendapat angin segar menuju perubahan dan membuka diskursus pluralistik, yang mengarahkan pemberdayaan masyarakat bersifat partisipatif. Karena masyarakat dapat berkreativitas kebudayaan tanpa harus “menghegemoni” kelompok lain yang sangat heterogen, namun saling bersinergis dalam keanekaragaman. Sayangnya, kebebasan pers kemudian menciptakan “ironi demokratisasi” yang mengakibatkan terjadinya konglomerasi media massa cetak yang hanya berpihak terhadap kepentingan ekspansi dan akumulasi modal segelintir pengusaha. Bahkan, dalam pandangan Agus Sudibyo bahwa kejatuhan presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai akibat dari “ironi demokratisasi” terhadap kebebasan pers yang kebablasan. Menurutnya, media massa cetak terkesan kurang proporsional dalam memberi ruang terbuka terkait pendapat, perspektif, dan klaim yang muncul tentang kepemimpinan Gus Dur. Hal senada juga diungkapkan oleh, Atmakusumah, yang mengatakan kemunduran citra pers di era tahun 2004, disebabkan oleh empat faktor, yakni: pertama, tekanan fisik dan serangan terhadap media pers dengan adanya demontrasi massa di kantor perusahaan pers; kedua, terbunuhnya juru kamera TVRI, Mohamad Jamaluddin, dalam konflik bersenjata di Aceh yang penyebab kematiannya tidak jelas; ketiga, penyanderaan dua wartawan RCTI, Ersa Siregar dan Fery Santoro, oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Fery kemudiaan dibebaskan, tetapi Ersa tewas dalam tembak menembak antara GAM dan Tentara Nasional Indonesia; dan keempat, larangan atau hambatan dari pejabat militer bagi wartawan dalam dan luar negeri untuk meliputi wilayah konflik bersenjata di Aceh. Sementara itu, dalam pengamatan Jakob Oetama menyebutkan bahwa datangnya kebebasan pers hasil reformasi pro-demokrasi serta berlangsungnya revolusi teknologi informasi–yang dipandang justru mengalakkan informasi dan komunikasi tatap muka lewat forum tradisional–memiliki dampak eksistensial, yaitu: kecemasan. Menurutnya, komunikasi sejak semula dipahami bahwa informasi tidak pernah merupakan arus satu arah, melainkan senantiasa dua arah, multiarah yang saling berinteraksi. Akhirnya, kebutuhan komunikasi sebagai ekspresi diri maupun proses komunikasi menjadi sumber pengetahuan yang dikhawatirkan menjadi sumber kecemasan. Maka itulah, jurnalisme pemaknaan berupa reportase faktual yang memisahkan fakta dan opini yang kini berkembang sebagai reportase interpretasi, reportase interpretasi, reportase yang mendalam, investigatif dan komprehensif menjadi semakin penting. Reportase yang bukan sekedar fakta menurut urutan kejadiannya, bukan fakta secara linier, melainkan fakta yang mencakup latar belakang, proses dan riwayatnya. Dengan cara itu berita bukan sekedar informasi tentang fakta, melainkan sekaligus menyajikan interpretasi akan arti dan makna peristiwa. Pencarian makna berita serta penyajiannya itulah kemudian menjadi tantangan bagi media massa cetak. Dengan kata lain, subjektivitas menjadi penting atau dalam terminologi Prof De Volder, “obyektivitas yang subyektif”. Subyektif artinya secara serius, secara jujur, secara benar, secara profesional mencoba mencari tahu secara lebih lengkap, mengapa peristiwa itu terjadi dan apa arti serta maknanya. Pemaknaan ini pula akhirnya menjadi benang merah antara pers dan kajian budaya. Sebagaimana, pendapat Ahmad Sahal bahwa cultural studies tidak sekedar dekonstruksi dalam budaya dan melumerkan pemisahan antara ”budaya tinggi” dan “budaya massa”, melainkan menyambut dan merayakan budaya massa tersebut. Menolak pendapat yang melihat budaya massa sekadar sebagai komoditas kapitalisme yang selalu berdampak homogenisasi, pengulangan dan penyeragaman. Karena dalam praktiknya, orang menerima dan menggunakan budaya massa tidak dengan sikap pasif, melainkan aktif memaknainya dengan kepentingan dan tujuan berbeda-beda. Dengan demikian, jurnalisme pemaknaan semakin relevan untuk diajukan dalam rangka pembinaan dan pengembangan nilai-nilai (luhur) budaya dalam rangka memperkokoh jati diri dan kepribadian bangsa, yang dalam masa pemerintahan Orde Baru di nilai bias Jawa, sehingga menimbulkan reaksi ketidakpuasan dari kelompok sosial di daerah yang bungkus oleh sikap sentimen etnisitas. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers (media) telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara. Peran inilah yang telah dimainkan dengan baik oleh pers (media). Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut. Melalui perantara media massa cetak, fakta dan aktualitas masyarakat dilembari semangat, komitmen dan keterlibatan dalam berefleksi menemukan solusinya. Sebuah benang merah dari sebuah keyakinan mengenai kebebasan pers yang mencerahkan dan mampu mengembangkan perilaku masyarakat kekinian; zaman globalisasi. Hal ini mengingat kebebasan pers memang menjadi syarat multak, tapi tetap menuntut kemampuan kompetensi pers. Karena, sosok pers dengan mesin serba canggih dalam era globalisasi kekinian bukan sekadar bisnis atau industri semata, melainkan pers adalah pers, yang mengutamakan daya kritis intelektual dan idialisme yang menentukan suara publik, masyarakat dalam artian seluas-luasnya, tapi tetap bertanggungjawab secara hukum positif.
Indovision, sebuahstasiun televisisatelitberlangganan yang diselenggarakan oleh PT MNC Sky Vision Tbk, menyadari peran media sangat penting karena selain sebagai sumber informasi, media dewasa ini juga menjadi wahana pembelajaran dan pembuka wawasan publik. Juga DW, yang merupakan salah satu saluran televisi yang berbasis di Jerman dan ditayangkan oleh PT MNC Sky Vision Tbk melalui Indovision saluran 357 yang memiliki perhatian khusus terhadap perkembangan jurnalistik di Indonesia. Untuk itu Indovision bersama DW menyediakan sarana dan kesempatan untuk pengembangan Jurnalis Indonesia agar menjadi bagian dari pengenalan Indonesia yang lebih baik di dalam negeri dan di dunia internasional, melalui Journalist Competition yang diadakan.Hal ini menunjukkan kebutuhan dan kesadaran para insan media untuk sarana pengembangan kemampuan jurnalistik. Diharapkan pada kompetisi ini akan semakin banyak media / jurnalis muda yang berpartisipasi dan memanfaatkan kompetisi ini untuk pencapaian kualitas jurnalis yang lebih baik (sumber: www.lombaapasaja.com dan www.okezone.com diakses tanggal 31 Januari 2014). Kompetisi yang diperuntukkan bagi para jurnalis profesional maupun independen. Kompetisi ini bertujuan mengasah kemampuan atau keterampilan jurnalistik. Pemenangnya berkesempatan mengikuti rangkaian acara Global Media Forum di Bonn, Jerman. Kompetisi jurnalistik ini merupakan perwujudan dari peran Indovision dalam membangun media dalam negeri yang lebih berkualitas.
Dengan adanya kekebasan pers kesadaran masyarakat dalam meningkatkan nilai strategis pengembangan sebuah tradisi berkesenian baik tingkat nasional maupun lokal (daerah) menjadi semakin bertumbuh dan berkembang secara dinamis dan sekaligus kritis. Sehingga terjalin hubungan sinergis antara pers dengan denyut nadi kehidupan seni budaya sebagai daya saing bangsa. Jurnalis, presenter, entertainer, produser, penyiar, dan tokoh-tokoh media lain perlu menyikapi hal tersebut di atas.
Kesimpulan
Dari uraian dan penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak globalisasi kenyataannya sangat berpengaruh terhadap prilaku dan budaya masyarakat di negara berkembang, khususnya Indonesia dimana, fenomena pengglobalan dunia dan tantangannya harus disikapi dengan arif dan positive thinking karena globalisasi dan modernisasi sangat diperlukan dan bermanfaat bagi kemajuan. Namun kita tidak boleh lengah dan terlena, karena era keterbukaan dan kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh negatif yang akan merusak budaya bangsa. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi perlu kecerdasan dalam menyaring efek globalisasi. Akses kemajuan teknologi, informatka, dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal. Jati diri daerah harus terus tertanam dijiwa masyarakat Indonesia, serta harus terus, meningkatkan nilai-nilai keagamaaan. Dalam hal ini, media sangat berperan besar dalam proses sosialisasi kepada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro, A. Sapto. 2013. Detik.com: Legenda Media Online. Yogyakarta: Moco Media
Djuarsa, dkk. 2008.Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Implikasi Sosial dan Akademis.Bandung: Semiloka ISKI
Fiske, John. 1987. Television Culture. London: Routledge
Hill, D.2001. Pers Indonesia dalam Konteks Asia: Gambaran Sepintas Lalu. Jakarta: Kompas
Isnawijayani. 2008.Pengaruh Nonton Televisi.Media Informasi DAMAS, Edisi 12 Juni 2008, TP PKK Sumsel, Palembang