Masa kampanye telah di mulai. Tahun 2019, Insya Allah, bangsa Indonesia memiliki Presiden RI terpilih. Kita sudah tentu sebagai warga negara berharap, agar gagasan yang pernah direncanakan dibangun ditindaklanjuti. Terutama pembangunan Museum Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang tertunda.
Ini peristiwa dua tahun yang lalu, tepatnya pada hari Sabtu pagi, tanggal 22 Oktober 2016. Waktu itu, saya pergi ke Nagari Koto Tinggi, dari Payakumbuh. Pagi sekali saya mencarter ojek ke daerah Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota itu.Mungkin pertanyaan yang muncul, mengapa naik ojek? Ya, karena angkutan umum jarang langsung ke tempat tersebut. Jika ada kendaraan penumpang roda empat, biasanya hanya sampai daerah Suliki.
Kalau ada mobil ke Koto Tinggi, mobil itu bukan dari Payakumbuh, tetapi mobil yang pagi-pagi dari Koto Tinggi ke Payakumbuh dan mobil yang sama itu pula, siangnya kembali ke Koto Tinggi. Biasanya mobil itu ditumpangi para penduduk Koto Tinggi yang akan berbelanja ke Payakumbuh.Setelah berbelanja mereka akan kembali lagi dengan mobil yang sama di mana telah menunggunya.Jadi hanya sekali rute perjalanan.Itulah sebabnya, saya mencarter ojek pergi pulang dari dan ke Koto Tinggi-Payakumbuh.
Lumayan juga jauh jaraknya antara Payakumbuh dan Koto Tinggi. Kami harus beristirahat beberapa kali melepaskan lelah. Jalan yang ditempuh naik turun sebagaimana kondisi jalan ke daerah pegunungan, yang menjadi ciri khas jalan-jalan di Sumatera Barat.Sewaktu tiba di Suliki, jalur jalan masih dua arah.Dari Suliki ke Koto Tinggi jalur jalan hanya satu.Pernah ojek saya hampir bertabrakan dengan mobil pribadi orang lain.
Tiba di Koto Tinggi masih agak pagi juga. Saya tiba di Kantor Kecamatan Gunuang Omeh.Karena hari Sabtu, pegawai libur, maka suasananya sepi dan di muka kantor terlihat bangku atau meja pedagang.Di muka kecamatan Gunuang Omeh itu tersedia halaman yang luas.Jadi bisa dipakai pedagang untuk berdagang.Di halaman yang luas itu terdapat patung pejuang yang menandakan Pemerintah Darurat RI bermarkas. Sayang patung itu juga tidak terawat dengan baik, lebih-lebih sudah banyak para pedagang menjajakan dagangannya di kaki patung. Mungkin di hari-hari tertentu mereka berdagang.Lihatlah foto di bawah ini.
![Patung PDRI itu (Foto Dasman Djamaluddin](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/11/02/img-20161022-072801-581981fa93fdfd874caf8ffc.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)
Saya memperoleh informasi, bahwa pondasi bangunan dicanangkan tepat pada tanggal 19 Desember 2012 yang dijadikan sebagai Hari Bela Negara. Akan memakan biaya 268 miliar rupiah. Biaya patungan yang akan dikeluarkan dari Anggaran Belanja Kementerian Pertahanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan sejumlah kementerian lain.
Pada waktu di tempat inilah saya memperoleh informasi akan kedatangan Presiden RI Joko Widodo pada tahun 2017. Tetapi Presiden RI tidak jadi datang dan hanya Mendikbud yang mewakili ke Koto Tinggi. Memang ada persoalan ketika Mendikbud mengatakan, bahwa sejak tahun 2016, pihaknya sudah memblokir anggaran tambahan pembangunan monumen itu. Selanjutnya?
Saya hari ini tanggal 10 Desember 2017 menghubungi Saudara Metrizal yang berdomisili di Koto Tinggi. Ia memberitahu bahwa belum ada lagi kegiatan apa-apa di Monumen dan Museum PDRI itu. Saya lama terdiam. Apa yang terjadi? Mungkinkah bangunan ini akan bernasib sama dengan Proyek Hambalang. Menjadi bangunan hantu, mubazir dana yang telah dikeluarkan. Harapan saya jangan sampai terjadi demikian.
Memang saya mendengar kicauan telah terjadi korupsi anggaran. Jika demikian tetap selesaikan kasusnya, tetapi pembangunan harus tetap berjalan, karena monumen dan museum itu bukan hanya menjadi kebanggaan Veteran RI, tetapi menjadi kebanggan seluruh rakyat Indonesia, karena pernah diajarkan Presiden RI Pertama Soekarno, "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (Jas Merah).
PDRI mengingatkan kita kepada Kolonel Hidayat yang pada saat itu hadir bersama Mr.Sjafruddin Prawiranegara. Menurut sumber yang saya peroleh di Bukittingi, Pak Hidayat yang mendorong Sjafruddin Prawiraranegara mengambil tindakan untuk mendirikan PDRI. Saat itu Pak Hidayat, di samping sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, yang lebih penting, saat itu juga adalah pejabat Kepala Staf Angkatan Perang, karena KSAP ditahan Belanda di Yogyakarta bersama dengan Bung Karno dan Bung Hatta.
Pak Hidayat adalah mertua Pak Rais Abin. Sebagai seorang Veteran, baik Pak Hidayat mau pun Pak Rais, saya teringat pidato Ketua Umum LVRI Letjen TNI (Purn) Rais Abin dalam sebuah pidatonya yang dikutip dari pujangga tua Belanda: