[caption id="attachment_191834" align="aligncenter" width="450" caption="(sumber: Rakyat Merdeka Online, http://www.rmol.co)"][/caption] Gesekan antara KPK dengan Polri pun semakin panas, karena kedua belah pihak tidak mau mengalah tentang siapa yang paling berwenang menyidik kasus korupsi pengadaan simulator mengemudi tersebut. Sequel “Cicang melawan Buaya” Jilid II pun dimulai. Motivasi untuk menyidik kasus korupsi antara Polri dan KPK ini berbeda. Kalau KPK lebih murni pada upaya pemberantasan korupsi, maka Polri diduga lebih pada motif untuk memanfaatkan penyidikan itu sebagai kamuflase mengamankan dan melindungi pihak-pihak tertentu di instansinya. Minimal melokalisir pihak-pihak yang terlibat. Polri takut apabila disidik KPK, akan semakin banyak rekening-rekening gendut perwira polisi yang bakal terbongkar lagi. Waktu Majalah Tempo melaporkan hasil investigasinya tentang dugaan korupsi pengadaan simulator tersebut di bulan April 2012, Mabes Polri segera membantahnya lewat surat pembaca yang dimuat di Tempo edisi 30 April-5 Mei 2012. Intinya Mabes Polri menjelaskan bahwa telah dilakukan investigasi yang mendalam, hasilnya sama sekali tidak ditemukan adanya praktik korupsi di proyek tersebut. Namun begitu KPK telah melakukan gebrakan mengejutkan dengan menggeladah dan menyita barang-barang bukti di Kantor Korlantas Polri, dan menetapkan empat orang tersangka, di antaranya Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo, tiba-tiba Polri seperti orang yang panik. Tiba-tiba mereka mengumumkan juga lima orang tersangka versi mereka, tiga di antaranya sama dengan yang diumumkan KPK. Djoko Susilo tidak termasuk. Katanya, selama ini Polri juga sedang menyidik perkara korupsi tersebut. Apakah benar? Sangat diragukan. Selama ini tidak terdengar kabar sedikitpun tentang hal itu. Apalagi dikaitkan dengan surat klrafikasi/bantahan dan pernyataan Mabes Polri di Majalah Tempo tersebut di atas, bahwa tidak ada korupsi dlam proyek simulator mengemudi itu. Kok, bisa sekarang tiba-tiba ada? Kalau memang ada penyidikan Polri seperti yang mereka akui itu, tentu hal tersebut akan menonjol, karena yang diduga terlibat adalah seorang perwira berpangkat Brigjen, tentu yang memeriksanya juga bukan polisi sembarangan.
*
SBY “Menghormati Hukum”, Akibatnya Perseteruan KPK vs Polri akan Semakin Destrukitf Meskipun ketentuan di dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK isinya mungkin belum bisa dikatakan benar-benar tegas menetapkan hanya KPK saja yang berwenang menangani kasus ini, tetapi jika ditinjau dari kepentingan dan kepercayaan masyarakat tidak bisa dibantah lagi bahwa KPK-lah yang paling diinginkan untuk menangani kasus penyidikan dugaan korupsi di Porlantas Polri itu. Masyarakat tidak percaya lagi kepada Polri untuk menangani kasus korupsi. Tingkat kepercayaan kepada Polri bisa dikatakan sudah nol. Apalagi jika para tersangkanya adalah polisi. Lebih-lebih perwira tinggi berpangkat jenderal yang masih aktif. Rekening gendut Perwira Polisi saja sampai hari ini tidak jelas hasilnya. Apabila ditafsirkan secara jujur dan obyektif secara hukum, berdasarkan UU No. 30 Tahun 2022 tentang KPK, khususnya Pasal 8 ayat 2 dan 3, Pasal 9, dan Pasal 50, wewenang penyidikan kasus korupsi tersebut ada pada wewenang KPK. Dari faktor-faktor ini, belajar dari pengalaman dalam kasus “Cicak versus Buaya” jilid I, ketentuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, dan kehendak kuat dari rakyat banyak, seharusnya Presiden SBY bisa mengambil sikap secara cepat dan tegas. Perintahkan kepada Kapolri Jenderal Timur Pradopo agar Polri melepaskan kehendaknya untuk menyidik rekannya sendiri itu. Jangan memaksa, karena selain dasar hukumnya lemah, juga rakyat tidak bakal percaya kalau kasus ini ditangani Polri. Serahkan semuanya kepada KPK untuk menanganinya. Bersikaplah terbuka, dengan mau bekerjasama, membantu KPK untuk membuka semua dokumen dan hal-hal lain yang diperlukan KPK. Itu jika memang SBY benar-benar berkomitmen dengan prinsipnya sebagai presiden yang tegas dan antikorupsi. Tetapi, faktanya, Presiden SBY malah mengulangi sikapnya ketika menghadapi kasus Cicak melawan Buaya di tahun 2009 dengan bintang utama Susno Duadji, dan Bibit-Chandra itu. Apakah, sebentar lagi akan diikuti dengan hobinya untuk membentuk satgas atau tim khusus lagi? Seperti membentuk Tim 8 tempo hari? Mungkin kali ini SBY dan Polri “beruntung” karena tidak ada lagi Tim 8 dan Ketuanya seperti Adnan Buyung Nasution, yang di jilid pertama “Cicak versus Buaya,” membuat beberapa skenario mereka berantakan. Menyaksikan sikap SBY terhadap perseteruan KPK melawan Polri sekarang ini membuat kita semakin tidak heran kalau Adnan Buyung Nasution tempo hari begitu geram dan kecewa dengan SBY ketika dia menjadi anggota Wantipres. Khususnya ketika dia mengetuai Tim 8 yang dibentuk oleh Presiden SBY untuk menangani kasus Cicak melawan Buaya itu. Sekarang ini pun SBY sebagai seorang Presiden, sebagai seorang atasan tertinggi Polri, tak mempunyai nyali untuk bertindak mengatasi konflik KPK melawan Polri itu. Dia kembali lagi berlindung di balik “menghormati hukum, maka itu tidak mau intervesi.” Meskipun publik tahu bahwa itu hanya cari-cari alasan untuk tidak bertindak. Meskipun nyata-nyata dampak dari diamnya itu malah semakin membuat kondisi semakin runyam. Bukan semakin baik. Publik tahu bahwa SBY itu sebenarnya bukan menghormati hukum, tetapi karena takut bersikap untuk mengatasi perselisihan itu, alias tidak punya wibawa. Katanya, dia berada paling depan menghadapi perang terhadap korupsi, tetapi begitu perang itu terjadi, dia justru ngumpet “di bawah ranjang” (baca: kamuflase “menghormati hukum”). Sikapnya ini justru merusak tatanan hukum dengan terjadinya konflik antara KPK melawan Polri ini. Apabila SBY terus diam, maka potensi perseteruan KPK melawan Polri ini akan semakin meruncing dan destruktif. Misalnya, akan terjadi rebutan tersangka dan barang bukti. Maka, yang senang sudah pasti adalah para koruptor itu sendiri. Masihkah SBY menipu dirinya sendiri dengan berlindung di balik alasan “menghormati hukum, tidak mau intervensi”? SBY hanya bisa menipu dirinya sendiri, publik tidak bisa ditipu lagi dengan alasan menghormati hukum itu. Sikap dan perintah yang paling ditunggu dari Presiden SBY adalah memerintahkan tanpa kompromi kepada Jenderal Timur Pradopo agar Polri segera menyerahkan penyidikan kasus dugaan korupsi itu kepada KPK, demi penegakan hukum, dan demi pembersihan di Polri. Jika, Timur tidak segera menjalankan perintah tersebut, pecat. Ganti dengan Kapolri baru! SBY Ikut-ikutan Bersikap Aneh Tetapi, SBY tidak melakukan semua itu. Dia malah ikut-ikutan bersikap aneh seperti bawahannya di Polri. Pada “Cicak versus Buaya” jilid pertama, setelah ada rekomendasi akhir dari Tim 8 kepada Presiden, seharusnya SBY segera mengambil keputusan berdasarkan rekomendasi tersebut. Tetapi dia malah menyerahkan rekomendasi tersebut kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk dipelajari lagi. Padahal Kepolisian dan Kejaksaan Agung adalah pihak-pihak yang berada dalam perkara Bibit-Chandra tersebut. Hal yang sama kini dilakukan lagi. Dalam keterangan yang disampaikan oleh Juru Bicara Istana, Julian Aldrin Pasha, setelah menyerukan kepada kedua instansi itu tidak saling berebut kompetensi menyidik, SBY juga mengatakan bahwa dia masih mengharapkan dan menunggu apa yang menjadi kehendak dan usulan dari KPK dan Polri untuk bisa menyelesaikan perselisihan tersebut. Ini terdengar sangat aneh. Sebab kedua pihak ini sesungguhnya sedang “berkelahi”, yang dibutuhkan adalah penengahnya yang tegas. Yang dapat segera menyelesaikan “perkelahian” tersebut. Mereka membutuhkan seorang pimpinan sejati yang bijak dan tegas untuk mengakhiri perselisihan itu. SBY malah menyerahkan kembali ke para pihak itu untuk menyelesaikannya sendiri. "Sebaiknya kita menunggu apa yang nanti menjadi usul dari tindak lanjut masing-masing instansi terhadap kasus ini," kata Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha kepada para wartawan di Bina Graha, Jakarta, Jumat, 3 Agustus 2012 (Kompas.com). Mau menunggu sampai kapan, Mr. President? Sesungguhnya SBY Lebih Pro-Polri Ketimbang KPK Kelihatannya, pihak Istana (SBY) memang tidak begitu antusias untuk menangani kasus ini. SBY mungkin menyesal karena “Cicak” sampai bisa masuk mengobok-obok “sarang Buaya.” Sebenarnya, diam-diam SBY lebih berat kepada Polri daripada KPK, tetapi hal ini tidak berani terang-terangan diungkapkan karena takut dicap sebagai pro-koruptor, atau anti-KPK. Lihat saja, selama ini adakah pernyataan dan tindakan SBY yang mendukung KPK? Masih ingat pernyataan SBY yang bilang bahwa KPK itu sudah terlalu luas kekuasaannya? Kini lewat pernyataan Juru Bicaranya, Julian Aldrin Pasha malah mengatakan bahwa sebenarnya memang Polri juga mempunyai kewenangan untuk menyidik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator mengemudi di Korlantas itu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP). Padahal bukankah KUHAP mengatur kewenangan Polri sebagai penyidik secara umum. Sedangkan UU KPK khusus mengatur tentang penyidik khusus kasus korupsi, yaitu KPK sendiri? Berdasarkan logika hukum, sosiologi, dan harapan masyarakat, tidak ada tersisa ruang bagi kewenangan Polri. Apa yang membuat SBY tidak bisa bersikap, kalau bukan sesungguhnya dia lebih berat ke Polri daripada KPK? Julian sendiri sempat mengeluarkan pernyataannya yang konyol, yang sekaligus menunjukkan ketidakpekaan Istana terhadap konflik KPK melawan Polri itu. Katanya, sebenarnya tidak ada itu yang namanya perseteruan antara KPK melawan Polri, tetapi medialah yang membuatnya menjadi seolah-olah ada! Yang pasti, kengototan Polri yang “di-back-up” SBY lewat sikap diamnya itu untuk sementara telah berhasil membuat kerja KPK terganggu dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar. Khususnya, dalam meneruskan penyidikan terhadap kaus dugaan korupsi di Korlantas Polri ini. Sebab, kalau Polri tidak bersikap demikian, SBY tegas terhadap Polri, maka sudah pasti kerja KPK sudah berada pada langkah berikutnya. Mungkin sekarang sudah melakukan penahanan terhadap empat orang tersangkanya, termasuk Brigjen Djoko Susilo. *** Baca juga: - Mengengok Kembali Cicak vs Buaya Jilid I, dan Menyaksikan Cicak vs Buaya Jilid II *Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI