Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kisah "Tempo" yang Diberedel Soeharto, dan Diultimatum Hashim

22 Juni 2014   07:55 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:51 3395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_312205" align="alignnone" width="620" caption="Goenawan Mohammad (Tempo.co)"][/caption]

Sabtu, 21 Juni 2014, tepat 20 tahun yang lalu Majalah Tempo diberedel oleh Menteri Penerangan Harmoko atas perintah Presiden Soeharto. Gara-garanya majalah berita itu terbit dengan laporan utama investigasinya tentang skandal pembelian 36 unit kapal perang eks-Jerman Timur oleh Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie. Dalam laporannya itu majalah Tempo antara lain membeberkan pembelian kapal-kapal itu dilakukan pada 1992 oleh Habibie, masalahnya: telah terjadi penggelembungan harga dari 12,7 juta dollar AS menjadi 1,1 miliar dollar AS. Parahnya lagi, ternyata sebagian besar kapal perang bekas itu tiba di Indonesia langsung menjadi besi-besi tua terapung alias tidak bisa dioperasionalkan, karena rusak, sulit atau biaya perbaikannya sangat mahal,  atau onderdilnya tidak tersedia.

[caption id="attachment_312203" align="aligncenter" width="300" caption="Cover Majalah Tempo tentang skandal kapal-kapal perang eks-Jerman Timur yang dibeli Menristek B.J. Habibie, yang menyebabkan Tempo dibredel Soeharto (Sumber: Tempo Store)"]

1403371584189731004
1403371584189731004
[/caption]

Presiden Soeharto marah besar terhadap pemberitaan Majalah Tempo itu. Apalagi Habibie adalah salah satu anak emasnya. Maka, tak perlu waktu lama lagi, atas perintah Soeharto, Menteri Penerangan Harmoko pun mengvonis mati Majalah Tempo, diberedel, dilarang terbit sampai dengan waktu yang tidak ditentukan. Selain Tempo, Majalah Editor, dan Tabloid Detik juga mengalami nasib yang sama, karena turut memberitakan skandal tersebut. Alasan resminya, media-media itu telah memberitakan hal-hal yang tidak benar, meresahkan dan dapat mengganggu keamanan nasional.

Pemberedelan itu adalah pemberedelan yang kedua yang dialami Majalah Tempo. Yang pertama, terjadi pada 1982, ketika Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Golkar, kendaraan politik Soeharto.

Pada masa kekuasaan diktator Soeharto yang sangat antikritik, dan antidemokrasi itu, nasib yang dialami Tempo, Editor, dan Detik itu merupakan hal yang sudah biasa. Siapa pun yang berani bersuara keras mengkritik Keluarga Cendana dan kroni-kroninya, akibatnya fatal. Kalau dia media, pasti diberedel, ditutup paksa (seperti Tempo), kalau dia perorangan, pasti dimatikan hak-hak perdatanya (seperti nasib anggota Petisi 50 – lihat jauh baca di sini), atau dipenjarakan melalui proses peradilan rekayasa, dan yang paling sial adalah “dihilangkan.”

Salah satu pendiri majalah Tempo, Goenawan Mohamad, hari Sabtu (21/6), melalui 30 cuitannya di akun Twitter-nya mengenang kejadian 20 tahun yang lalu itu.

Goenawan mengisahkan, pasca penutupan Tempo secara paksa itu, banyak pihak dari masyarakat yang menyampaikan simpatiknya kepada Tempo. Masyarakat mulai berani mengekspresikan rasa muaknya kepada rezim Soeharto yang selalu mengekang kebebasan bersuara, ada yang datang langsung ke kantor Tempo, menyampaikan belasungkawa, dan simpatiknya. Ada juga yang membawa makanan-makanan untuk dimakan bersama.

Semangat solidaritas awak Tempo dan dukungan masyarakat itu membuat Tempo menjadi lebih berani. Dipimpin oleh  Bambang Harimurty, Tempo mengajukan gugatan kepada pemerintah atas pembredelan itu ke PTUN! Sesuatu yang belum pernah berani dilakukan oleh media manapun saat itu: Melawan rezim Soeharto melalui jalur hukum. Meskipun dengan pesimis untuk memang, karena sadar semua lembaga negara saat itu, termasuk lembaga peradilan berada di bawah kendali Soeharto, Tempo menggugat Soeharto!

Tetapi, tak tanpa diduga sebelumnya, di pengadilan tingkat pertama, Hakim Benjamin Mangodilaga memenangkan Tempo. Demikian juga di tingkat banding, tetapi, seperti yang sudah diduga, di tingkat kasasi Tempo dikalahkan. Hal ini tak heran bisa terjadi, karena saat itu semua hakim agung hanya bisa diangkat atas persetujuan Soeharto.

Setelah Tempo diberedel, selang lima hari kemudian, pengusaha Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto, mantu Soeharto dari anaknya Tatiek Soeharto, memanggil Direksi Majalah Tempo untuk berbicara dengannya di dalam suatu pertemuan khusus. Di dalam pertemuan itu Direksi Tempo diberi dua pilihan, tepatnya ultimatum oleh Hashim: Pertama, Tempo harusbersedia dibeli keluarga Soeharto dan Prabowo, dan mereka yang menentukan siapa pimpinan Redaksinya, atau, kedua, jika menolak sama dengan mati selamanya.  Pertemuan itu dilakukan pada pukul delapan malam, dan Direksi hanya diberi batas waktu untuk memutuskannya sampai pukul delapan pagi keesokan harinya.

Setelah pertemuan itu, semua direksi berkumpul untuk rapat di rumah Goenawan. Semua sepakat untuk menolak ultimatum tersebut. Mereka memilih lebih baik Tempo mati selamanya daripada tunduk kepada keluarga Soeharto dan Prabowo itu.

Kemudian melalui pengusaha kroni Soeharto, Bob Hasan, diterbitkanlah majalah sejenis Tempo, yaitu Majalah Gatra. Goenawan memberi pilihan kepada karyawan-karyawan Tempo, apakah mereka mau pindah ke Gatra dengan imbalan gaji besar, atau mati bersama Tempo. Goenawan terharu, ketika sebagian besar awak Tempo memilih pilihan yang kedua.

Demikian sebagian kisah yang diambil dari cuitan Goenawan Mohammad mengenang tepat 20 tahun yang lalu Majalah Tempo diberedel oleh  Soeharto yang sangat antidemokrasi itu.

[caption id="attachment_312207" align="aligncenter" width="412" caption="Sebagian cuitan Goenawan di akun twitter-nya"]

14033734721273949556
14033734721273949556
[/caption]

Sejarah kemudian membuktikan prinsip awak Tempo dalam menegakkan kebenaran dan memperjuangkan kebebasan bersuara akhirnya yang menang. Melalui krisis ekonomi dan moneter yang hebat sejak 1997, kerusuhan besar di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia pada 13-15 Mei 1998, pada 21 mei 1998 rezim diktator antidemokrasi itu akhirnya tumbang. Maka alam kebebasan bersuara dan berekspresi pun bangkit dan berkembang pesat seiring dengan maju pula teknologi dan informasi (internet) menjadi seperti sekarang. Hanya beberapa hari setelah rezim Soeharto tumbang, Majalah Tempo pun bangkit dari kuburan demokrasinya, terbit kembali, hidup dan berkembang menjadi seperti sekarang.

Di sepanjang perjalanan hidupnya itulah Tempo meneruskan ciri khasnya dalam pemberitaannya, yaitu semakin kritis dalam melaporkan hasil investigasinya terhadap berbagai kasus, terutama kasus-kasus korupsi besar. Karakter khas Tempo itulah yang telah berhasil mengungkapkan berbagai kasus  skandal korupsi besar, yang membuat gerah dan gelisah serta marah para pelaku dan mereka yang tersangkut di dalamnya. Kasus-kasus seperti Rekening Gendut Perwira Polri, “Cicak versus Buaya”, korupsi impor daging sapi (mantan Presiden PKS Luthi Hasan Isaaq), korupsi simulator SIM (Irjen Pol. Djoko Susilo), korupsi proyek wisma atlet dan Hambalang (Nazaruddin, Angelina Sondak, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum), dan lain-lain tidak lepas dari “jasa” Tempo sebagai media yang pertama kali mengungkapkanya ke publik.

Hal ini hanya bisa terjadi ketika demokrasi dan kebebasan bersuara benar-benar dihargai seperti sekarang ini. Dalam konteks ini, yang dirugikan dengan demokrasi seperti ini tentu saja para koruptor, termasuk dan terutama para pejabat pemerintah/penguasa. Karena setiap waktu Tempo bisa membuka kedok kebobrokan mereka, kemudian dengan bebas dipublikasi di medianya (saat ini termasuk di Koran Tempo dan Tempo.co). Kalau sudah dipublikasikan ramai-ramai oleh media, sangat sulit untuk menghindar dari jeratan hukum, apalagi dari KPK seperti sekarang ini.

Para pejabat tinggi koruptor itu pasti merasa jauh lebih nyaman jika negara ini dikuasai oleh presidennya yang antidemokrasi. Apalagi yang juga tukang korupsi dan diktator, karena cukup dengan dekat dengan presiden dan keluarganya, maka dijamin korupsinya itu akan dilindungi dan publikasi dan hukum. Seperti di era masih berjayanya Soeharto. Diam-diam mereka pasti ingin era seperti itu kembali berjaya di negara ini. Besar kemungkinan merekalah yang membuat dan mengedarkan berbagai selebaran, spanduk, kaos yang disablon, yang menggambarkan Soeharto yang berkata, “Piye kabare, enak di zamanku, toh?” Padahal yang dimaksud “enak di zaman ku” itu sebenarnya ditujukan kepada para kroni-kroni Soeharto dan turunannya sekarang, karena hanya merekalah yang benar-benar menikmati enaknya hidup di era Soeharto.

Oleh karena itu, saya pernah menulis di Kompasiana, alangkah gerahnya para koruptor itu dengan keberanian Tempo mengungkapkan berbagai skandal korupsi kelas kakap, maupun kelas paus. Semakin berani Tempo mengungkapkan praktek-praktek korupsi hasil investigasinya di berbagai kementerian, seperti yang baru-baru ini di Kementerian Agama, semakin galau mereka. Meraka takut suatu waktu kelak, wajah mereka akan muncul juga di cover Majalah Tempo sebagai terduga/tersangka korupsi, seperti yang dialami Menteri Agama Suryadharma Ali baru-baru ini. Maka, diam-diam mereka geram dan berseru, “Tempo ini sudah sangat keterlaluan! Kenapa bisa hidup lagi?! Seandainya Soeharto masih berkuasa pasti Tempo sudah dipaksa tutup (diberedel)!” Baca artikel saya itu, di sini.

Kini mereka itu punya peluang untuk mewujudkan impiannya itu menjadi kenyataan di Pilpres 2014, yaitu dengan memilih salah satu capres-cawapres, yang telah menyatakan keinginannya untuk mengembalikan kejayaan Soeharto dan keluarganya. Langkah pertama yang dialakukan jika terpilih adalah akan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional! Sesuatu yang sangat kontradiksi segera terlihat. Di suatu kesempatan capres tersebut mengatakan akan memperjuangkan dan menjunjung tinggi demokrasi, yang telah didapat dengan penuh pengorbanan. Tetapi di lain kesempatan cita-citanya adalah hendak mengembalikan kejayaan Soeharto, yang jelas-jelas adalah presiden yang antidemokrasi.

Pada masa Orba berkuasalah demokrasi dikekang habis-habisan, korban-korban yang berjatuhan itu adalah selain para aktivis prodemokrasi yang hilang diculik, juga media-media yang berani bersuara kritis terhadapnya, dibredel, dimatikan satu per satu. Namun dengan banyak pengorbanan para aktivis itu bersama media prodemokrasi pun akhirnya berhasil menumbangkan Presiden Soeharto. Jadi, benar capres nomor satu itu mengatakan demokrasi saat ini didapat dengan banyak pengorbanan. Yaitu, korban-korban penculikan dan korban-korban media yang dibredel, korban-korban Soeharto, yang saat ini hendak dikembalikan kejayaannya.

Oleh karena itu tak berlebihan Goenawan Mohammad mengatakan kekhawatirannya jika sampai kekuatan Orde Baru berhasil dihidupkan kembali.

"Kita takut akan lahir Orde Baru atau semacam Orde Baru lagi," kata Goenawan saat diwawancara Tempo.co, Sabtu, 21 Juni 2014,berkaitan dengan 20 tahun mengenang Majalah Tempo ditutup Soeharto itu.

Saya sependapat dengan Goenawan yang menyatakan kekhawatirannya bahwa penindasan kebebasan berpendapat akan lahir lagi, meskipun mungkin tak melalui pemberedelan seperti dulu, karena itu akan sangat mencolok. Tidak bisa diterapkan lagi di era Teknologi Informasi yang sedemikian canggih. Adanya media sosial seperti Twitter, YouTube, Face Book, dan lain-lain. Tekanan terhadap pers, tutur Goenawan, bisa dalam bentuk tekanan legislatif dan eksekutif. Belum lagi, ujarnya, tekanan melalui organisasi-organisasi masyarakat yang menakut-nakuti kerja pers. "Itu pernah terjadi pada Gramedia. Dulu, Front Pembela Islam  mengancam akan membakar buku Gramedia."  (Tempo.co).

Yang dimaksud Goenawan adalah kasus buku terbitan Gramedia, pada Juni  2012. Ketika itu FPI melakukan razia ke toko-tobo buku Gramedia, dan mengancam akan menghabisi Gramedia jika masih menerbitkan dan menjual buku yang berjudul Lima Kota Paling Berpengaruh di Dunia. FPI menilai buku tersebut telah menghina Nabi Muhammad, oleh karena itu Gramedia harus menarik kembali buku-buku itu dan meminta maaf kepada umat Islam, atau FPI akan menghabisinya (Okezone.com).

Itulah mungkin antara lain maksud tersembunyi dari salah satu capres-cawapres merangkul ormas-ormas yang jelas-jelas berkarakter anarkis dan intoleran, karena kelak bisa meminjam tangan mereka untuk menekan dan mengintimidasi siapa saja yang berani kritis terhadap mereka jika berkuasa, terutama media/pers.

Selain itu, Goenawan juga mengatakan, ancaman kebebasan pers juga muncul dari penguasaan segi modal perusahaan pers. Sumber-sumber ekonomi pers, kata Goenawan, juga terancam ditekan seperti halnya iklan. "Wartawan jangan mudah dibeli. Kalau pun takut, jangan takut. Kekuatan di tangan wartawan sendiri," katanya (Tempo.co).

Goenawan bisa berkata seperti ini karena dia pernah merasakan, Majalah Tempo pernah merasakan di Juni 1994 itu, ketika Soeharto masih sedemikian kuatnya, sehingga saudara anak mantunya saja bisa memanggil Direksi Tempo, menghadapnya untuk menerima ultimatum dari Keluarga Soeharto, seperti yang disinggung di atas: Memilih tunduk kepada keluarga Soeharto, atau mati selamanya!

Maukah anda, sejarah seperti yang terjadi pada Majalah Tempo ini terulang lagi? ***

Artikel terkait:

Majalah Tempo Sudah Sangat Keterlaluan!"

Majalah Tempo Sudah Sangat Keterlaluan II: Lolos “Rekening Gendut”, Terjerat “Simulator”



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun