Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Karena Uang Korupsi Itu Rezeki dari Allah?

22 Oktober 2015   00:49 Diperbarui: 22 Oktober 2015   01:11 33130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Sejak KPK berdiri (2003), dalam hal jumlah aset koruptor yang berhasil disita KPK rekor terbesar terdapat pada kasus korupsi (gratifikasi) dan pencucian uang mantan Ketua DPRD dan Bupati Bangkalan, Madura, Fuad Amin Imron.

Sejak ditangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan pada 2 Desember 2014 di rumahnya di Bangkalan, sampai dengan Februari 2015, KPK berhasil menyita sejumlah aset milik Fuad yang jumlahnya luar biasa besarnya. Juru Bicara KPK ketika itu Johan Budi mengatakan inilah penyitaan aset tersangka koruptor terbesar yang pernah dilakukan KPK.

Untuk benda bergerak berupa uang tunai yang berhasil disita dari Fuad jumlahnya mencapai Rp. 250 miliar, plus puluhan unit mobil, sedangkan untuk aset benda tak bergerak meliputi rumah, toko, butik, tanah kosong, hotel, apartemen, dan bangunan lainnya mencapai lebih dari 70 unit, tersebar di Bangkalan, Surabaya, dan Jakarta.

Kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa, aset yang diperoleh oleh Fuad Amin dari hasil korupsinya itu juga luar biasa, dan terakhir vonis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diucapkan pada Senin, 19 Oktober 2015 ternyata juga luar biasa, luar biasa ringannya.

Ketua Majelis Hakim M Mukhlis dalam pembacaan vonisnya itu menyatakan Fuad Amin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebagaimana yang didakwa jaksa. Namun ia tidak sepakat dengan tuntutan yang diajukan jaksa KPK yang menuntut Fuad dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 3 miliar, serta seluruh harta yang disita KPK dikembalikan kepada negara.

Sebaliknya, Mukhlis hanya mevonis ringan Fuad dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan, serta menyita harta Fuad yang berupa uang tunai sebesar Rp. 234,07 miliar plus USD 563,322. Sedangkan semua harta yang disita KPK yang jumlahnya fantastis itu secara fantastis pula diperintahkan Mukhlis dikembalikan kepada Fuad Amin. Padahal vonisnya sendiri menyatakan Fuad Amin terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang (untuk memperoleh aset-asetnya itu).


Alasan Mukhlis mevonis ringan Fuad adalah karena yang bersangkutan sudah tua (66 tahun), sopan dalam persidangan dan selama ini belum pernah dihukum. Padahal beberapa terpidana korupsi yang juga sudah tua usianya tetap dihukum berat.

Sedangkan mengenai sopan selama di persidangan sebagai pertimbangan menjatuhkan vonis ringan kepada Fuad Amin itu sebetulnya merupakan “salah kaprah” yang sering digunakan para hakim di Indonesia untuk mevonis ringan para pelaku kejahatan, terutama korupsi. Entah ini disengaja atau tidak, apakah merupakan trik hakim atau bukan, jelas bahwa antara sikap sopan selama di persidangan dan berat-ringannya vonis terhadap terdakwa sesungguhnya tidak ada korelasinya. Yang menentukan berat-ringannya vonis terhadap terdakwa adalah tindak pidananya sendiri, dan profesi pelakunya, serta beberapa alasan hukum lainnya.

Tentang profesi, misalnya, jika pelaku korupsinya berprofesi sebagai pejabat tinggi negara yang mempunyai kedudukan tinggi dan strategis, maka vonis terberat layak dijatuhkan kepadanya, dibandingkan jika pelaku korupsinya adalah pegawai negeri biasa. Contoh: Akil Mochtar dihukum dengan hukuman maksimum, seumur hidup oleh Mahkamah Agung, karena dia adalah seorang pejabat tinggi negara yang memegang jabatan yang super penting dan strategis di bidang penegakan hukum di negeri ini, yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi, tetapi dia menerima suap berkali-kali dari para pihak di persidangan-persidangan sengketa Pilkada di MK.

Sikap sopan selama mengikuti persidangan merupakan suatu kewajiban terdakwa, dan siapapun yang menghadapi/mengikuti suatu persidangan. Bagaimana bisa sesuatu yang wajib itu dijadikan faktor bagi hakim untuk mevonis ringan terdakwanya? Kebiasaan yang “salah kaprah” ini bisa saja dimanfaatkan (dikamuflasekan) hakim untuk main mata dengan terdakwa sebagai alasan vonis ringannya.

Vonis ringan terhadap Fuad Amin ini kontan mendapat sorotan dari berbagai pihak, apalagi, sebelumnya, Hakim Mukhlis beberapa kali juga mengakomodasi keinginan Fuad. Salah satunya dia menyetujui permohonan pemindahan Fuad untuk pindah dari rumah tahanan KPK yang terletak di lantai 9 Gedung KPK dengan super maximum security ke Rutan Salemba yang jauh lebih longgar penjagaannya. Di Rutan Salemba inilah pada 1 September 2015, Fuad diberi kebebasan pula untuk merayakan hari ulang tahunnya bersama keluarga, dan para sahabat pendukungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun