Mohon tunggu...
Danan Wahyu Sumirat
Danan Wahyu Sumirat Mohon Tunggu... Buruh - Travel Blogger, Content Creator and Youtuber

blogger gemoy

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wayang Daun Singkong Ibu

14 Juli 2013   20:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:33 1619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_275040" align="alignnone" width="640" caption="Bermain Wayang  Daun Singkong (sumber: http://farm3.staticflickr.com)"][/caption] "Langit kelap-kelip... bumi gonjang-ganjing... ". Suara ibu mengalun gagah bak dalang kondang. Tangannya mengetuk-ngetuk ritmis amben kayu. Sayapun terkagum menyaksikan pertunjukan di dapur. Sejenak kemudian tangan ibu memegang dua batang daun singkong yang dipilin menyerupai wayang. Dari mulutnya keluar percakapan  dua  lakon membuat saya terkagum sesekali terkekeh karena lucu. Kisahnya bebas, bisa Arjuna, Rama Shinta atau kancil dan buaya. Ibu memang piawai menirukan beragam jenis suara. Ketika kecil , memasak sayur singkong momen yang paling saya tunggu. Usai membantu ibu memisahkan sayur dari tangkainya tersisa batang singkong aneka warna,  merah, hijau dan kuning. Dengan cekatan ibu menganyam batang-batang menjadi wayang. Sebelumnya batang singkong diletakan dekat tungku kayu sejenak agar layu dan mudah dibentuk. Sebuah batang  ditekuk untuk dasar tubuh wayang. Dari sinilah tangkai demi tangkai dijalin membentuk wajah dan hidung sampai badan. Ibu biasa "mendapuk" tokoh antagonis Rahwana  dari batang singkong warna merah, sedangkan warna lainnya menggambarkan tokoh protagonis. Inilah cara beliau mengenalkan warna sekaligus mengajarkan simbol-simbol yang mampu mengembangkan kemampuan berpikir abstraktif. Bagi anak umur 5 tahun kebaikan   dan pesan moral merupakan hal abstrak  yang sulit didefinisikan. Tapi melalui dialog , jalan cerita  dan simbol warna akan lebih mudah dimengerti. Yang nantinya membangun  kecerdasan emosi serta kepekaan sosial. [caption id="attachment_275064" align="aligncenter" width="259" caption="Wayang Daun Singkong (sumber: http://permata-nusantara.blogspot.com)"]

13738197741455664238
13738197741455664238
[/caption] Berkali-kali mencoba membuat wayang tapi selalu gagal. Tangan-tangan kecil saya tidak sekuat dan selincah ibu, menekuk batang lalu menganyam dengan cekatan. Butuh usaha keras untuk menyelesaikan satu wayang. Dengan telaten ibu  melatih  gerak motorik tangan saya untuk mengenggam, mencengkram, memilin dan menyelipkan tangakai daun. Memperhatikan dengan sekasama apakah jalinan yang dibuat sudah benar. "Horee wayangnya jadi". Teriak saya puas sambil mengayun-ayunkan wayang. Sang arjuna batang singkong gagah  digenggaman berhiaskan dedaunan dan batang padi. [caption id="attachment_275063" align="alignnone" width="580" caption="Mendalang melatih komunikasi serta kemampuan otak kanan (sumber: http://kfk.kompas.com)"]
137381953593794150
137381953593794150
[/caption] Mendalang mirip mendongeng , melatih keterampilan berbahasa dan mengembangkan kemampuan otak kanan bagi penikmatnya. Meskipun kami tinggal di Sumatra, dalam aksinya ibu selalu menyelipkan bahasa leluhur kami, Jawa. Saya ingin bisa seperti ibu berceloteh beragam bahasa sambil melucu. Batang daun singkong itu bergerak luwes seolah hidup , gerakannya sesuai dengan intonasi dan tutur kata. Dalam pertunjukan sesungguhnya , kesenian wayang menggabungkan seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Kita patut berbangga karena tanggal 7 November 2003 , wayang diakui UNESCO sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Ternyata permainan ringan yang saya kenal di dapur dari ibu  berasal dari akar budaya Indonesia dan mendapat pengakuan internasional . Ketika beranjak dewasa saya semakin jatuh cinta dengan wayang. Karena kisahnya mengandung makna filosofis yang dalam. Cerita asal  negeri Hindustan mendominasi plot cerita pewayangan seperti  Ramayana dan Mahabarata. Namun pujangga Indonesia  mengadaptasinya  sesuai akar budaya Jawa . Seperti  karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Konsep penyesuaian yang paling menonjol  adalah kedudukan para dewa dalam pewayangan. Dewa dalam pewayangan bukan lagi mahluk bersifat "putih", melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru dan khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Jawa untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Wayang daun singkong tidak hanya sekedar permainan masa kecil. Tapi media belajar  mengembangkan kemampuan abstraktif, komunikasi, gerak motorik , kecerdasan emosional dan  kepekaan sosial. Nilai filosofis yang ada dalamnya menyadarkan bahwa manusia bukan mahluk sempurna. Kata ibu manusia tempatnya salah, maka harus senantiasa mawas diri dan  ingat Tuhan. "Sak Bejo-bejone Wong Lali, Isek Bejo Wong Eling". Petuah ibu selalu terngiang di benak. Terimakasih Ibu atas pelajaran hidup dan petuahmu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun