Mohon tunggu...
Dadang Kusnandar
Dadang Kusnandar Mohon Tunggu... lainnya -

memasuki dunia maya untuk menjelajah dunia nyata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masres, Sandiwara Rakyat Cirebon

19 November 2009   03:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:17 1822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Catatan Dadang Kusnandar
AGAMA sering jadi inspirasi kesenian. Ruh atau semangat agama terasa menjiwai pentas kesenian dari pesisiran Utara Cirebon. Penyebaran Islam di Jawa Barat sekira abad 14 - 15 tampaknya tidak sekadar dicatat sebagai babad (kisah) semata. Cerita yang turun temurun disampaikan dari mulut ke mulut (leluri) kemudian dibakukan dalam seni panggung dengan ruh agama. Maka seni Islam merupakan media hiburan yang relevan dengan dakwah.

Agaknya "islamisasi" pewayangan oleh Sunan Kalijaga bisa dikatakan peletak awal di bidang budaya, khususnya kesenian. Atas persetujuan Sunan Ampel, kisah pewayangan dan peralatannya jadi sarana siar agama ke pelosok Jawa yang telah ratusan tahun berkultur Hindu.

Kecamatan Celancang Kabupaten Cirebon, tepatnya Desa Bedulan sejak awal 1960 telah mengenal seni drama Masres, teater rakyat yang sarat pesan moral. Amad, pendiri masres mengadopsi babad Cirebon sejak Sunan Gunungjati membumikan agama Islam di Cirebon hingga melebar ke bagian lain di Jawa Barat. Cerita turun temurun warisan leluhur mengenai sejarah persemaian agama ini diangkat ke dalam teater rakyat.

Judul-judul favorit Masres biasanya adalah: Babad Alas Muara Tua atau pembukaan hutan Muara Tua (kabarnya Muara Tua adalah nama sebelum Cirebon), Bumi Celancang/ Hikayat Syekh Windujati, dan yang paling populer Ngalangi Grebeg Muludan. Tiga lakon di atas sangat sinkron dengan kisah penyebaran agama islam.

Babad Alas Muara Tua mengungkap kiprah para utusan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati) ketika membuka hutan sekitar daerah Gunungjati sekarang; mendirikan pesantren, mesjid dan kasunanan yang kala itu masih "berafiliasi" ke kerajaan Demak di Jawa Tengah. Lakon Syekh Windujati bertutur mengenai islamisasi bumi Celancang oleh beliau. Sedangkan Ngalangi Grebeg Muludan mengungkap penghentian upeti kasunanan Cirebon ke kerajaan Galuh dan Pajajaran.

Kemarahan pihak Galuh yang diteruskan dengan penyerbuan ke Cirebon disambut dengan perang tanding. Meminjam Babad Cirebon karya Pangeran Sulendraningrat, kekalahan Galuh pada 1528 merupakan keberhasilan pertama Cirebon yang diteruskan dengan "penaklukan" daerah lain di Jawa Barat. Pangeran Wiralodra dari Indramayu menyerah dan menggabungkan wilayahnya dengan Cirebon di tahun itu juga. Talaga (kabupaten Majalengka) tahun 1529, Kuningan tahun 1529 -- setelah sebelumnya Banten secara damai memeluk Islam pada 1526. Penyebaran juga berlanjut ke Sunda Kalapa (Jakarta) pada 1527.

Ngalangi Grebeg Muludan akhirnya begitu populer, sebab upeti rakyat lantas beralih ke keraton Pakungwati (sebelum bernama Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan) yang ketika itu dipimpin oleh putra Sunan Gunungjati.

Masres Budi Darma
Sejak didirikan Komara, pensiunan guru SMT Pertanian Cirebon, pada tahun 1976, grup sandiwara ini pentas per tahun rata-rata 34 kali terhitung 1986 - 1995. Padahal tahun 1978 - 1985 mereka pentas 60 kali per tahun. Umumnya manggung pada pasca panen dan bulan Syawal. Dengan aktor/ aktris dan nayaga sebanyak 50 orang, grup ini telah melanglang ke Tanjung Priok, Bekasi, Karawang, dan Lampung. Kesenian rakyat ini menggunakan setting panggung keraton Cirebon, dan berawak pemain muda (21 - 45 tahun).

Peralatan yang mahal, dekorasi tripleks berengsel sebagai prototipe keraton (l14 lukisan latar belakang suasana alam, halaman dalam, halaman belakang, halaman luar, serambi dan lain-lain). Belum lagi alat tetabuhan tradisional yang mesti diangkut sebuah truk saat hendak manggung, memungkinkan mahalnya tarif pertunjukkan : sekitar Rp 1 juta - Rp 2 juta sekali pentas hingga akhir 1995. Nilai Rp 2 juta itu tidak seberapa bila dibagi kepada 50 orang seniman sandiwara masres.

Diselingi lagu-lagu tarling (sesekali lagu dangdut, mungkin supaya tidak kalah dengan organ tunggal), juga lawakan atau Goro-goro yang tampil pada Perang Brubuh, masres memperoleh antusiasme penonton. Bisa jadi, minimnya hiburan rakyat yang gratis, terlebih bertutur sejarah cirebon menggunakan bahasa cirebon -- masres dinantikan kehadirannya.

Yang menarik, para seniman masres punya pekerjaan sehari-hari di sektor informal: petani penggarap tanah orang lain, nelayan, buruh, tukang becak, bahkan pembantu rumah tangga. Maka berapa pun pendapatan (uang) paska pentas tidak begitu jadi soal. Ada pemisahan tegas antara seni dan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun