Dulu saya sempat ingin menjadi seorang arkeolog. Tinggal di sekitaran Solo-Jogja, lalu Muntilan; ada banyak candi di sekitar area itu yang menarik perhatian saya. Banyak pertanyaan yang muncul dari kepala, mulai yang paling sederhana ‘kok bisa membangun candi sebesar itu ya?’, hingga ke pertanyaan serius semacam ‘apakah ada kesamaan pola di antara candi-candi itu?’.
Waktu berlalu dan memang saya tidak jadi mendalami arkeologi. Namun minat itu masih ada di sana. Kuliah di Surabaya, kadang-kadang saya mengunjungi candi-candi di Jawa Timur. Lalu muncul pertanyaan lagi, ‘mengapa candi di Jawa Timur beda konstruksinya dengan yang di Jawa Tengah?’, dan sebagainya. Sejauh ini saya hanya mengamati dan membaca korelasinya.
Saya ingin berkunjung ke candi Borobudur lagi. Keinginan yang biasa, sepertinya. Terakhir kali ke sana, saat saya masih duduk di bangku SMA, hampir sepuluh tahun lalu. Dan dalam rentang waktu sepuluh tahun ini, tanpa niatan, saya dipertemukan dengan kejadian-kejadian yang sepertinya mengingatkan saya untuk kembali ke Borobudur, dan melihatnya kembali dengan sudut pandang yang berbeda.
Candi satu ini bukan candi biasa. Dunia pun mengakuinya, dengan menjadikannya satu dari Tujuh Keajaiban Dunia (dulu). Bangunannya yang megah, kaya dengan relief yang sarat pesan, penuh dengan patung Buddha dalam berbagai posisi, dan struktur kompleksnya yang dibangun berdasarkan bentuk mandala, keseimbangan alam. Persegi dengan empat pintu masuk, dan di tengahnya adalah sebuah lingkaran dengan satu titik pusat. Borobudur adalah mandala terbesar di dunia.
Mandala Candi Borobudur (gambar diambil dari Wikipedia)
Tahun 2009, di acara Indonesian Culture Exhibition 2009 dimana saya menjadi koordinator seksi dekorasi, kami berpikir mengenai satu ikon yang bisa menonjolkan Indonesia. Stupa candi Borobudur kemudian menjadi pilihan, dan kami membuat 5 stupa yang didesain sedemikian rupa untuk menyamai stupa candi Borobudur yang sebenarnya. Banyak pengunjung yang menanyakan tentang stupa-stupa itu. Dan tidak bisa dipungkiri juga, saya menahan rindu untuk kembali ke Borobudur.
Tahun ini, pameran fotografi “Kassian Cephas” digelar di Yogyakarta. Tidak hanya dikenal sebagai forografer pribumi pertama, Kassian Cephas jugalah yang mengabadikan berbagai relief di candi Borobudur, termasuk “the hidden base of Borobudur”. Ada satu bagian di bawah candi yang ditutup, entah mengapa (saya sebelumnya tahu mengenai ini dari seorang teman yang rumahnya di dekat Borobudur). Tahun 1890, ketika pekerja saat itu menemukan bagian yang terkubur ini, Cephas memotret relief yang ada di sana. Setelah diambil fotonya, “the hidden base of Borobudur” ini dikubur kembali, entah apa alasannya. Tidak semua relief yang terkubur bisa diambil fotonya, karena fotografi saat itu mahal dan memakan banyak waktu. Dari 300 foto yang direncanakan, Cephas hanya bisa mengerjakan 160.
Tahun ini juga, novel Lalita karangan Ayu Utami terbit. Novel yang merupakan bagian dari seri Bilangan Fu ini memusatkan ceritanya pada Borobudur. Ah bukan pada candinya secara fisik, pada cerita yang mengelilinginya, pada mandala, pada sebuah pencarian yang berawal jauh dari masa lalu. Kali ketiga saya ‘diingatkan’ untuk kembali ke Borobudur ini menyentak. Kata orang, itu kebetulan. Tapi ijinkan saya mengutip Ayu Utami, “jika kebetulan terjadi terlalu banyak, apakah kamu percaya bahwa itu tidak bermakna?” (Manjali dan Cakrabirawa, 2010).
Tidak hanya Borobudur, dua candi kecil yang tidak sepopuler kakaknya, Candi Pawon dan Candi Mendut, adalah dua candi yang juga ingin saya kunjungi kembali. Ketiga candi ini berada si satu garis lurus, dan karenanya dianggap memiliki hubungan spiritual dan ritual, meski belum diketahui secara pasti seperti apa hubungannya.
Saya ingin kembali ke Borobudur. Tidak hanya dengan alasan sentimental karena saya merindukannya setelah hampir satu dekade tidak berjumpa. Tidak hanya dengan alasan sederhana ingin melihat bentuknya yang luar biasa. Nusantara ini terlalu kaya, dan ironisnya kita lupa dan terlalu sibuk untuk menjaga. Namun dengan banyak kejadian kebetulan dan literatur yang sempat saya baca, kali ini saya ingin mengunjungi Borobudur dengan rasa yang berbeda. Sejarahnya, pesannya, makna filosofinya. Bukan sekedar berwisata.
XOXO,
-Citra
P.S. Temukan tempat tujuan wisata Indonesia di sini: http://www.indonesia.travel/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H