Menurut sebagian orang, saya ini pintar. Pintar versi punya ranking di sekolah, cukup sering ikut lomba (menangnya nggak sering sih), lulus dengan IPK bagus. Kalau dilihat memang perjalanan studi saya begitu mulus kayak jalan tol. Kayaknya ya.
Lucunya, terkait perjalanan studi saya itu, saya sering mendengar komentar seperti ini:Â ya iyalah bapak ibunya guru, wajar kalau pinter.
Kalau saya sedang selow, biasanya saya tanggapi berpanjang lebar. Jika saya sedang malas, biasanya saya tanggapi dengan senyum dan ucapan terima kasih.
Apa Iya Karena Orangtua Guru Kemudian Kita Otomatis Pintar?
Bagi saya jawabannya jelas tidak. Lepas dari pengaruh genetis (katanya kecerdasan diturunkan), sama halnya dengan sekian banyak kejadian di dunia ini, jarang sekali ada fenomena yang penyebabnya tunggal atau hanya satu. Kecelakaan mobil misalnya, bisa jadi sebabnya tak hanya karena sopir mengantuk, namun ditelaah lebih jauh karena sebelumnya terlalu keras bekerja atau jalan yang terlalu lempeng yang menyebabkan kewaspadaan berkurang.
Nah, kepintaran, kecerdasan, itu juga saya percaya tak hanya dipengaruhi faktor orangtua. Dari komentar-komentar serupa tentang hubungan saya yang (katanya) pintar dengan orangtua saya yang guru, pembicaraan lebih lanjut mengungkap bahwa menurut mereka, faktor orangtua saya yang keduanya guru adalah faktor penting yang menyebabkan saya "wajar saja" sekolahnya lancar. Lucunya, itu sering menyertai sekian alasan lain mengapa dia/anaknya/siapanya kurang lancar dalam sekolah.Â
"Iya, kalau anak saya ya nggak bisa sepinter Mbaknya, berhubung orangtuanya hanya pedagang saja...."
"Sepupu saya kuliahnya lama Mbak, maklum orangtuanya bukan guru...."
Hmmmm.
Mereka tidak salah. Orangtua saya memang sadar bahwa pendidikan itu penting, kesadaran yang ditanamkan dan ditularkan pada saya. Hanya saja itu tadi, yang namanya faktor pendukung itu kompleks, nggak cuma satu. Dari saya sendiri, terkadang saya ngambek jika dibilang itu murni faktor orangtua, seakan-akan saya terlahir jenius lalu tanpa belajar dan kerja keras lalu jadi pintar. Saya lebih sering mengaku rajin dibanding pintar, karena sesungguhnya saya agak lemot dalam menyerap pelajaran atau ilmu baru, sehingga harus banyak mencatat dan mengulang. Karena saya tahu kelemahan saya itu, jadi saya jadi rajin. Buah dari rajin itu adalah bisa ranking 1 saat SD (iya, cuma pas SD aja!), bisa menghafal puisi dan macapat, bisa menyelesaikan tanggungan SKS dalam 3,5 tahun. Faktor lainnya juga ada: guru-guru di sekolah yang kooperatif dan perhatian, sarana dan prasarana yang mendukung, hingga atmoster belajar dari teman-teman yang menyenangkan.
Kalau resepnya cuma satu itu saja (orangtua guru) ya pasti banyak yang rame-rame jadi guru. Juga banyak yang beralasan nggak bisa lancar sekolahnya karena orangtuanya bukan guru. Yang orangtuanya guru dan anaknya nggak lulus SMA juga ada.