[caption id="attachment_205590" align="alignnone" width="385" caption="Sumber : putriput3.wordpress.com"][/caption] Fidel Castro kini berusia 86 tahun. Usianya melampaui sahabat-sahabatnya maupun musuhnya. Soekarno, teman karibnya, telah lama mangkat. Soeharto-sosok yang sangat pro Amerika dan karenanya bukan kawan castro- juga telah lama meninggal. Presiden Kuba dari tahun 1976 - 2008 ini telah memberikan banyak perubahan bagi negaranya. Salah satu revolusi yang ia lakukan, selain revolusi militer dan politik yang sangat anti Amerika dan telah lebih dari 40 tahun bertahan dengan embargo Amerika, adalah revolusi di bidang kesehatan. Sebelum revolusi, Kuba seperti sebuah negeri yang diterlantarkan. 40% warga pedesaan Kuba saat itu mengalami buta huruf. 10% rumah pedesaannya tidak dialiri listrik. Lebih menyedihkan lagi 3% warganya tidak mendapat saluran air bersih. Resiko situasi ini adalah gizi buruk yang menyerang warga Kuba. Disana hanya ada 3 rumah sakit yang beroperasi dengan seadanya tanpa fasilitas dan dokter serta pelayanan yang baik. Saat revolusi meledak 50% dokter diasingkan karena bisa jadi tak memiliki semangat revolusi. Apa hasilnya? Kita lihat data perkembangan Kuba di sektor kesehatan. Data ini diambil pada Tahun 2008. Pertama kita bicarakan angka kematian bayi (AKB). Di Kuba hanya 6 per 1000 kelahiran, sedangkan di Indonesia mencapai 35 kematian per 1000 kelahiran. Kematian ibu melahirkan (AKI) di Kuba mencapai 8 per 1000 kelahiran. Di Indonesia? Mencapai 307 kematian per 1000 kelahiran. Waw! Usia harapan hidup Kuba pada tahun 2008 sudah mencapai 76 tahun, sedangkan di tahun yang sama di Indonesia hanya 66 tahun. Untuk masalah buta huruf juga fantastis. Laki-laki melek hurufnya mencapai 97,2% dan perempuan 96,9%. Bagaimana bisa sebesar itu? Selain karena besarnya anggaran untuk pendidikan, media televisi Kuba juga menyiarkan 369 jam program pendidikan setiap minggu. di Indonesia? mungkin hampir tidak ada program khusus pendidikan di stasium televisi swasta, kebanyakan infotainment dan sinetron yang cenderung tidak mendidik. Selanjutnya adalah sistem kesehatannya. Kuba menggunakan sistem dokter keluarga yang tiap dokternya melayani 100-150 keluarga, kira-kira mencakup satu RT. Yang unik dari dokter keluarga ini adalah cara prakteknya. Dokter keluarga ini tinggal di rumah khusus berlantai dua. Lantai pertamanya adalah tempat kliniknya dan lantai dua adalah rumah tinggal dokter bersama keluarganya. Di bagian belakang dan samping rumah biasanya dipakai tempat tinggal para perawat. Otomatis rumah dokter itu akan menjadi klinik 24 jam yang siap melayani pasien dengan baik. Untuk menjaga kualitas layanan, maka setiap 10 dokter keluarga ditempatkan di sebuah kantor Satuan Tugas Dokter keluarga. Satuan tugas ini terdiri dari 3 dokter spesialis, yaitu spesialis penyakit dalam, spesialis kebidanan, dan kandungan serta seorang pekerja sosial. Konfigurasi serupa ada di Poliklinik, dimana ada banyak spesialis berkantor disana. Fungsi Poliklinik - yang disini adalah Puskesmas- adalah promosi kesehatan, pencegahan penyakit, rehabilitasi serta pertolongan darurat. Wajar jika Puskesmas di Kuba mampu melakukan pemeriksaan endoskopi, tes alergi, operasi sederhana dan serangkaian tindakan medis yang dibutuhkan untuk menolong jika ada kedaruratan. Ingat, ini adalah Puskesmas-nya Kuba, bukan rumah sakit rujukan. Jika di Indonesia, mungkin ada satu dokter umum saja sudah syukur. Hal menarik lain dari kesehatan di Kuba adalah peralatan medis yang digunakan di Kuba adalah produk Kuba sendiri. Apa saja alat itu? Alat EKG (Elektrokardiograf) untuk memeriksa jantung, reagen tes alergi, dan obat steptokinase yang disini harganya bisa mencapai 6 juta rupiah. Dan semua layanan itu tanpa biaya, alias gratis! Wow! Selain alat dibuat sendiri, perawatannya juga mantap. Ada pengawas tenaga elektro yang terlatih untuk memantau dan mengawasi penggunaan alat tersebut. Wajar kalau alat-alatnya tidak mudah rusak. Murah dan tidak mudah rusak. Di Indonesia, alatnya saja kita harus datangkan dari luar negeri dengan biaya yang sangat besar, belum jika dikorupsi pula. beberapa tahun dipakai, eh sudah rusak. Di Kuba bahkan penanganan rehabilitasi medik bisa diselenggarakan di Puskesmas. alat-alat semacam penunjang fungsi gerak, pernafasan maupun fungsi bicara dengan mudah ditemukan di sana. Upaya pendidikan kesehatan bagi warga juga dilakukan secara intensif. Contohnya, tim pemantau jentik -yang di Indonesia disebut Juru Pemantau Jentik (JUMANTIK)- akan bertandang ke rumah warga setiap 12 hari sekali. Tim ini datang bersama dengan dokter keluarga, murid sekolah dan perhimpunan wanita. Hasilnya, sejak tahun 2002 di Havana tak pernah lagi ditemukan kasus DBD. Untuk rujukan rawat inap maka di Kuba ada Rumah sakit rujukan pertama. Pembagian tanggung jawabnya jelas : Puskesmas di bawah komandu kabupaten/ kota, sedangkan rumah sakit berada di bawah tanggung jawab propinsi. Salah satu kegiatan yang menarik di rumah sakit adalah penelitian. Temuan penting RS Kuba adalah temuan vaksin dan obat terapi kanker. Malah ada rumah sakit berbasis penelitian tingkat tinggi. disana konon dirawat seorang petinju legendaris, Mohamad Ali. di rumah sakit ini terdapat layanan perbaikan bagi semua penyakit syaraf, seperti rehabilitasi syaraf, anti penuaan dan penyakit parkinson. Yang unik di Kuba adalah tidak adanya pembagian klasifikasi kamar bagi pasien, kecuali pasien internasional yang meminta perlakuan khusus. Disana tak ada pula penjual obat atau makelar obat-obatan yang beredar di kamar-kamar. Bahkan dokter Kuba sangat terkejut melihat di Indonesia dengan mudahnya penjual obat untuk masuk ke kamar-kamar pasien. Secara nasional layanan kesehatan Kuba tercatat pada tahun 2008 saja terdiri atas 14.671 kantor dokter keluarga, 444 Puskesmas, 162 klinik gigi, 267 rumah sakit, 272 balai kesehatan ibu, 144 balai kesehatan lansia, 32 balai kesehatan orang cacat, 25 bank darah dan 12 pusat penelitian kesehatan. Prestasi yang mengagumkan untuk negeri yang menggunakan asas sosialisme. Kuba menjadi negara yang memiliki dokter, perawat dan ranjang rumah sakit per kapita tertinggi di Amerika Latin.Fidel Castro membuktikan bagaimana sebuah sistem sosialisme terbaik dapat memberikan layanan utama bagi kesehatan warganya. Kita mungkin akan gigit jari, sebab landasan kita adalah Pancasila dan lambang burung garuda, tapi usia harapan hidup kita tidak sepanjang Kuba. Tiap kali pemerintah selalu menyampaikan bahwa Indonesia memasuki generasi emas tapi wabah penyakit terus datang. Mungkin pemerintah harus banyak belajar dari Kuba, bukan tentang ideologinya harus ikut sosialisme, tapi tentang bagaimana menerapkan kesehatan yang merata bagi seluruh rakyat. Jika sudah seperti Kuba, Visi Indonesia Sehat 2015 tak mustahil bisa terwujud. Tak perlu di update lagi seperti dulu, mulai Visi Indonesia Sehat 2010, yang kemudian menjadi 2015, 2020 dan seterusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H