Mohon tunggu...
Budi Usman
Budi Usman Mohon Tunggu... -

saya putera betawi lahir dari blasteran ciledug/udik dan kalideres serta lahir di tangerang 6 mei 1977,dari pasangan Inspektur satu polisi Usman muin dan Siti Marpuah. Silaturahmi merupakan ibadah dan membawa berkah ,Email budiusman@yahoo.com, kami adalah jurnalisme warga biasa...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tari Cokek: Sexy dan Erotis

18 Maret 2011   01:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:42 3740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13004112331231430579

KEBUDAYAAN ASLI TANGERANG Menurut sumber bahwa Cokek berasal dari Teluk Naga di Tangerang. Menutut versi ini, pada saat itu, daerah Tanjung Kait dikuasai oleh tuan tanah bernama Tan Sio Kek. Seperti biasa tuan tanah kaya lainnya, Tan Sio Kek juga mempunyai sebuah kelompok musik.Pada suatu hari, datang tiga orang bercocing, yaitu rambut yang dikepang satu. Diduga berasal dari daratan China. Ketiga orang ini membawa tiga buah alat musik yaitu, Tehiyan, Su Khong dan Khong ahyan. Ternyata ketiga orang itu juga mahir bermain musik.Ketika malam tiba, ketiga orang tersebut berkenan memainkan alat-alat musiknya. Tiga alat musik yang mereka bawa itu kemudian dimainkan bersama-sama alat musik kampung yang dimiliki oleh grup musik milik tuan tanah Tan Sio Kek. Dari perpaduan bunyi berbagai alat musik yang dimainkan oleh para pemusik tersebut, lahirlah musik Gambang Kromong.Sedangkan para gadis yang menari dengan iringan irama musik itu, kemudian disebut sebagai Cokek, yang diartikan anak buah Tan Sio Kek. Seperti halnya Nie Hukong, Tan Sio Kek lebih dapat menikmati tarian dan nyanyian para cokek, yaitu para penyanyi cokek merangkap penari pribumi yang biasa diberi nama bunga-bunga harum di Tiongkok, seperti Bwee Hoa, Han Siauw, Hoa, Han Siauw dan lain-lain. Dalam perkembangannya, walau kelompok Gambang Kromong bila mendapat undangan pentas mendapatkan honor atau bayaran, namun para Cokek, atau penari perempuan itu, tidak dibayar, tetapi mencari bayaran sendiri dari para lelaki yang mengajak mereka menari atau Tari Ciokek, atau biasanya lebih dikenal Cokek, merupakan salah satu kesenian Betawi yang kini hanya lebih banyak hadir di kawasan pinggiran Jakarta, seperti Bekasi, Bogor, maupun Tangerang. Tak heran kalau kebudayaan yang muncul dari hasil percampuran budaya Tionghoa dan Jawa ini lebih dikenal di kawasan Tangerang (baik kota maupun kabupaten). Tarian ini sangat identik dengan kehidupan kaum Tionghoa Tangerang yang biasa disebut Cina Benteng. Konon tarian yang kerap diiringi musik gambang kromong ini dianggap sebagai salah satu bagian penting dari sebuah ritual perkawinan kaum Tionghoa di sana. Pada era tahun 1950 hingga tahun 1970-an, sebuah perkawinan dianggap kurang afdol jika tanpa disertai tarian Cokek dengan iringan musik gambang kromong.Hal ini dirasakan cukup beralasan karena Cokek diperkirakan telah berkembang sejak mulai adanya tuan-tuan tanah dari kaum Tionghoa yang menguasai Jakarta dan sekitarnya pada awal abad ke-19. Ketika itu di kawasan Teluk Naga ataupun Mauk, Kabupaten Tangerang dikuasai oleh seorang tuan tanah yang bernama Tan Sio Kek. Ketika itu, sang tuan tanah punya kebiasaan menggelar pesta setiap malam Minggu. Karena kegemarannya itu, dia pun akhirnya sengaja mendatangkan sebuah kelompok musik yang beranggotakan tiga orang bertocang (rambut kepang satu) dari daratan Cina. Dan untuk melengkapi musik tersebut, si tuan sengaja mencari pembantu wanita yang pandai menari. Para pembantu yang umumnya merupakan gadis-gadis desa setempat yang muda dan cantik. Kemudian mereka disuruh melayani tamu-tamu laki-laki si tuan rumah untuk menari. Mereka itulah yang kemudian disebut sebagai penari Cokek. Cokek sendiri berasal dari bahasa Hokkian, Cio Kek yang berarti penari wanita. Namun bisa juga Cokek merupakan sebutan plesetan dari nama Tan Sio Kek si tuan tanah yang suka berpesta itu. Mana yang benar dari versi tersebut sampai kini belum ada penelitian secara khusus. Tapi satu kepastian memang cokek sangat dikenal di kawasan Teluk Naga, terutama kawasan Kampung Melayu. Tarian ini menjadi pemandangan biasa di rumah kawin saat warga keturunan Tionghoa menjalani ritual upacara pernikahan (Chiou Thoau). Biasanya acara menari bersama ini berlangsung dua hari dua malam. Beberapa gadis berbedak tebal dan berselendang awalnya hanya menari di depan tetamu. Perlahan, bersama alunan gambang kromong, mereka mulai menggoda para tamu lelaki hingga “ritual” pengalungan selendang. Jika selendang sudah dikalungkan, pantang bagi si tamu menolak ajakan. Menolak ajakan ngigel (berjoget) berarti menorehkan aib ke diri sendiri, karena dianggap tak mampu memberikan uang saweran pada si penari. Orang yang dipilih menari bersama para penari cokek biasanya juga bukan orang sembarangan. Tokoh masyarakat dan orang kaya setempat mendapatkan kesempatan pertama. Tari cokek ditarikan berpasangan antara laki-laki dan perempuan. Tarian khas Tangerang ini diwarnai budaya etnik China. Penarinya mengenakan kebaya. Sementara tarian cokek sendiri mirip sintren Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini kerap mengundang keerotisan para penarinya, hal inilah yang kemudian masih dianggap tabu oleh masyarakat. Sebagai pembukaan pada tari cokek ialah wawayangan. Penari cokek berjejer memanjang sambil melangkah maju mundur mengikuti irama gambang kromong. Rentangan tangannya setinggi bahu meningkah gerakan kaki. Setelah itu mereka mengajak tamu untuk menari bersama,dengan mengalungkan selendang. pertama-tama kepada tamu yang dianggap paling terhormat. Bila yang diserahi selendang itu bersedia ikut menari maka mulailah mereka ngibing, menari berpasang-pasangan. Tiap pasang berhadapan pada jarak yang dekat tetapi tidak saling bersentuhan. Ada kalanya pula pasangan-pasangan itu saling membelakangi. Kalau tempatnya cukup leluasa biasa pula ada gerakan memutar dalam lingkaran yang cukup luas. Pakaian penari cokek biasanya terdiri atas baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutera berwarna. Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebagainya, polos dan menyolok. Di ujung sebelah bawah celana biasa diberi hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang terikat pada pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah Rambutnya tersisir rapih licin ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak begitu besar, dihias dengan tusuk konde bergoyang-goyang. Koh Wie Tiang (70), pemimpin Kelompok Tari Cokek Shinta Nara yang tinggal di kampung wates daerah Teluk Naga, Tangerang yang mengaku keturunan keenam yang menjalani usaha ini membawahi sepuluh perempuan penari dan tujuh pemain musik. Sementara alat musik yang dipakai untuk mengiringi tarian cokek tidak jauh berbeda dari gambang kromong Betawi. Rebab dua dawai yang disebut Khong a yan, suling, kempul, gong, kendang, dan kecrek mengiringi lenggak-lenggok para penari cokeknya. “Biasanya saya kalau dipanggil pentas dua hari dua malam kami tetapkan tarif sebesar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta,”kata Koh Wie Tiang. Uang itu selanjutnya, dibagi rata dengan seluruh awak. Biasanya, lanjut Koh Wie Tiang, pertunjukan dimulai pukul 21.00 hingga tengah malam. Kemudian dilanjutkan kembali esoknya dari pukul 10.00 hingga tengah malam lagi. “Lagu-lagu yang biasa kita bawain antara lain Gelatik Nguk – nguk, Cente Manis Dipatok Burung, Surilang Enjot-enjotan dan lain-lain,” katanya lagi. Berharap Tanpa Erotisme Tarian erotis bagi tari Cokek memang begitu melekat sehingga membuat preseden negatif terhadap kesenian ini. banyak pula yang mencoba untuk menghilangkan kesan buruk ini. ”Kami juga ingin menjadikan cokek sebagai sebuah seni bermutu dengan menghilangkan unsur erotisme di dalamnya. Namun kami tidak ingin menghilangkan beberapa unsur penunjang yang kaya dengan budaya campuran Cina, Betawi dan Jawa ini,” tutur Jaelani, salah satu pemain te yan dan juga kerap pembina cokek ini yang ditemui, Rabu kemarin seraya mengatakan hal itu juga harus ditunjang oleh keikutsertaan pemerintah untuk melakukan pembinaan. upaya lanjutnya, cokek tak lagi mengesampingkan unsur erotisme sebagai daya tarik tapi menekankan dinamisme gerak si penari. Sehingga orang mau menonton tariannya dan bukan erotisme seperti selama ini yang menjadi kesan. Mulai Dilupakan Menurut Mamat, salah seorang warga Kampung Melayu, Teluk Naga, paling tidak ada puluhan grup Gambang Kromong dan Ciokek pernah hidup di sana. Hal ini sangat didukung oleh kehadiran lima rumah kawin yang berada di kawasan itu. “Sehingga hampir tiap minggu masyarakat Kampung Melayu, terutama dari kaum Cina Benteng, dapat menikmati tarian Cokek dan musik gambang kromong di rumah kawin yang ada. Pada era itu, grup Gambang Kromong dan Cokek yang terkenal adalah Naga Sakti,” tuturnya. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, perlahan-lahan kesenian ini mulai dilupakan orang. Menurut Ismail, saat ini orang jauh lebih memilih musik dangdut daripada menggelar pentas musik gambang kromong. “Katanya musik ini sudah kuno, sehingga tak banyak lagi orang yang mau menanggap kesenian ini. Atau paling tidak, orang tetap memilih Cokek yang sudah dimodernisasi dengan musik dangdut. Kalaupun ada yang menanggap Cokek dan gambang kromong murni, paling hanya dari kelompok orang tua Tionghoa yang masih sangat fanatik dengan musik tersebut, yang lainnya lebih banyak memilih hiburan lainnya,” papar Ismail. Kondisi ini memang sangat memprihatinkan mengingat cokek terlahir di kawasan Kampung Melayu, Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang. Tapi itulah kenyataan bahwa cokek kini mulai terlupakan di tanah kelahirannya sendiri.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun