Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Black Economy", Seberapa Hitam Indonesia?

23 Juni 2011   06:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:15 6009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hitam dan putih, tidak hanya dikenal di dunia klenik atau kejahatan. Bukankah kita sering mendengar istilah black magic atau white-collar crime. Dunia hitam seolah identik dengan kejahatan. Hitam menjadi simbol kegelapan, putih berarti kesucian. Hitam itu kotor, putih itu bersih. Kasihan juga nasib warna hitam ini. Tapi itulah simbol yang kadang diamini oleh sebagian orang. Minimal ada sebuah konsensus yang menyepakati arti simbol warna hitam. Lalu apa hubungannya ilmu hitam dengan ilmu ekonomi? Atau, jika kita sepakat dengan simbol hitam, adakah hubungan antara dunia kejahatan dengan dunia ekonomi? Black Economy, itulah jawabannya. Yuk sekilas kita menyelami, lebih tepatnya meraba-raba dunia kegelapan dalam perekonomian Indonesia.

Sampai saat ini, setiap negara rajin mencatat semua transaksi atau kegiatan ekonomi dari masyarakat atau pelaku bisnis. Kegiatan ekonomi tersebut diukur dengan uang, dan akhirnya tercatat dalam laporan keuangan negara, misalnya tercantum dalam Gross Domestic Product (GDP). Ketika GDP meningkat pesat, rezim pemerintah pun senang. Apalagi jika pertumbuhan ekonomi tersebut lebih kencang dibandingkan laju kenaikan harga barang dan jasa. Berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi tersebut, beberapa negara bisa dicap sebagai "Emerging Market", "New Industrialized Country", atau berbagai stempel mentereng lainnya. Dan Indonesia pernah dan sedang merintis lagi ke arah kasta elit itu, yang hanya diukur berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang tergolong stabil, tatkala beberapa negara lain goyah atau kena imbas dari krisis finansial global yang mulai terjadi tahun 2007. Apakah semua kejadian ekonomi tercatat dalam keuangan negara? Nah, di sini masalah mulai muncul. Mustahil jika pembalak liar yang membabat habis hutan kita diminta lapor ke negara. Penerima sogokan pun pasti tidak mau tanda-tangan di atas kuitansi bermeterai, apalagi kalau sampai ada potongan pajak pendapatan korupsinya. Mereka pasti sembunyi-sembunyi. Kata orang, di bawah tangan, di bawah meja. Mereka seolah bersembunyi dan tidak menampakkan diri. Mana bisa kita mengetahui seberapa besar transaksi atau aliran uang yang tersembunyi tersebut. Apalagi mencatatnya sebagai penerimaan negara- yang akhirnya memang hilang atau disebut sebagai kerugian negara- di neraca keuangan negara. Transaksi mereka bak siluman. Tidak kelihatan karena terselubung tabir gelap yang justru menjadi pelindung mereka. Karena itulah aktivitas atau transaksi ekonominya disebut dengan black-economy. Apakah semua yang tidak tercatat itu jahat? Jelas tidak. Tidak melapor tidak selalu identik dengan kejahatan, walaupun kegiatan yang bersangkutan tidak dicatat oleh negara. Mungkin anda pun sering berbelanja di kaki lima atau membeli permen dari para pedagang asongan. Mereka sering disebut dengan sektor informal. Mereka bisa bebas pajak. Padahal mereka pun mempunyai penghasilan juga yang mungkin tidak dilaporkan ke negara. Ketika Anda di kampung pun, bukankah sering makan gratis dengan hanya memancing ikan di kolam milik paman, atau menikmati singkong bakar tidak dengan membeli karena tinggal mencabut singkong dari ladang punya kakek? Padahal kegiatan tersebut tergolong aktivitas ekonomi, namun semuanya tidak tercatat dalam keuangan negara. Kegiatan ekonomi tersebut dikenal dengan Underground Economy, Hidden Economy, Shadow Economy, atau beberapa istilah lainnya- yang intinya adalah aktivitas ekonomi yang tidak tercatat dalam GDP- baik karena disengaja atau tidak disengaja, melanggar atau tidak melanggar peraturan, atau alasan lainnya. Sektor informal di Indonesia menjadi kegiatan ekonomi yang paling menyerap tenaga kerja di Indonesia. Mengutip publikasi BPS bertajuk "Data Strategis BPS", pada Februari 2010, sekitar 67,83 persen dari seluruh penduduk usia kerja merupakan tenaga kerja aktif dalam kegiatan ekonomi dan disebut dengan angkatan kerja yang besarnya mencapai 116,00 juta orang. dari total angkatan kerja tersebut, sekitar 92,60 persennya adalah penduduk yang bekerja.  Jika melihat status pekerjaan berdasarkan klasifikasi formal dan informal, maka pada Februari 2010 sekitar 31,41 persen tenaga kerja bekerja pada kegiatan formal dan 68,59 persen bekerja pada kegiatan informal. Sektor informal di Indonesia -walaupun menjadi bagian dari hidden economy- menjadi urat nadi kegiatan ekonomi di Indonesia bagi sebagian besar angkatan kerja di Indonesia. Jadi kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dalam keuangan negara bisa dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu legal atau illegal. Black economy tergolong yang illegal karena melanggar peraturan dan perundangan. Black economy itu melanggar hukum. Jadi jangan heran jika illegal logging pun diburu. Tersangka koruptor pun dikejar sampai ke negeri seberang. Jika belum berhasil ditangkap maka nilai transaksinya masih belum berhasil diamankan untuk menambah penerimaan negara. Kalau begitu, berapa nilai GDP Indonesia yang sesungguhnya? Menurut laporan BPS, perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran PDB atas dasar harga berlaku pada Triwulan I-2011 mencapai Rp1.732,3 triliun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan 2000 mencapai Rp594,0 triliun.  Angka tersebut menunjukkan aktivitas ekonomi yang tercatat. Di atas kertas, atau belum menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Para pengamat melihat Indonesia sebagai negara berkembang yang disinyalir mempunyai kegiatan ekonomi informal yang cukup besar. Menurut Pedro Gomis-Porqueras dalam artikelnya yang berjudul "Quantifying the Shadow Economy: Measurement with Theory", porsi shadow economy terhadap GDP di negara yang tergabung dalam OECD berkisar antara 5 sampai 27 persen, sedangkan di negara-negara berkembang diduga lebih tinggi lagi dengan perkiraan antara 25 sampai 75 persen. Dengan demikian, Indonesia diduga mempunyai hidden economy yang cukup besar juga. Di sini kita belum membicarakan black economy secara khusus atau membedakan legal atau illegal. Hal ini bisa dimengerti karena ranah regulasi atau peraturan mengenai hidden economy bisa berbeda-beda untuk setiap negara, baik dalam konteks substansi maupun penegakan hukumnya. Menurut Schneider and Buehn (2009), Indonesia mempunyai persentase shaddow economy berkisar antara 18,9 sampai 19,6 persen selama kurun waktu 2001-2007, dengan rata-rata 19,3 persen. Berarti harus ada faktor koreksi terhadap nilai GDP Indonesia sekitar 20 persen. Namun perlu dicatat, angka itu merupakan estimasi terhadap underground economy secara keseluruhan, yang berarti tidak secara khusus memilah mana yang black economy mana yang tidak. Mana hitam, mana putih. Memang tidak ada perkiraan khusus mengenai jumlah transaksi atau kegiatan ekonomi yang bersifat illegal atau black economy. Justru perkiraan black economy lebih sulit. Bukankah kejahatan selalu disimpan rapat? Bukankah secara harfiah, tersembunyi masih bisa dicari, sedang kegelapan betul-betul hanya bisa diraba-raba entah ada dimana? Bisa saja kita menggunakan ukuran seberapa banyak nilai kerugian negara yang bisa terungkap, jumlah perkiraan kasus yang sedang ditangani oleh KPK, atau jumlah pengaduan yang masih sedang diproses. Atau, angka indeks persepsi korupsi dari International Transparency pun bisa digunakan sebagai sinyal mengenai besarnya black economy, seperti dapat dilihat pada gambar di atas.  Indikator-indikator tersebut bisa saja dapat diketahui dan digunakan dasar perkiraan nilai kerugian negara. Namun, angka tersebut mungkin hanya sebagian kecil saja, walaupun tidak ada justifikasi obyektif untuk mengatakan itu. Semoga bukan seperti fenomena gunung es. Kalau iya, maka faktor koreksi GDP Indonesia bisa lebih besar lagi.

***** Jika ingin kegelapan sirna dari perekonomian Indonesia, singkat saja. Berantas korupsi, illegal logging, pengemplang pajak, white collar crime di bidang perbankan, atau bentuk kejahatan yang nilai ekonominya menggerogoti keuangan negara. Namun, itu ternyata tidak semudah jari-jari tangan menulis. Semoga masih ada semangat dan harapan untuk memutihkan perekonomian Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun