Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Man on the street.

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama FEATURED

Swasembada Kedelai Bisa Saja Tercapai, Jika Pemerintah Mengendalikan Impor

5 November 2020   20:03 Diperbarui: 22 Februari 2022   07:24 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi tempe di warung sayur (Dokumentasi pribadi)

Aspal masih berselimut kabut pagi. Satu demi satu para pesepeda keluar dari Sanan, Malang, sebuah sentra pengrajin tempe. Di samping sepeda ditempelkan wadah terbuat dari bambu yang memuat tumpukan tempe.

Hampir setiap pagi saya menunggu pengrajin tempe langganan sebelum berangkat ke sebuah SMP Negeri dekat Rampal. Oleh Ibu saya, penganan berbungkus daun pisang, masih hangat akibat fermentasi, langsung dipotong-potong lalu digoreng.

Bumbunya sederhana, bawang putih dihaluskan bersama ketumbar sangrai, garam, dan diencerkan dengan air matang. Tanpa bumbu aneh-aneh, tempe goreng sudah terasa gurih, garing, dan menggugah selera, disantap dengan sepiring nasi hangat yang disiram sedikit kecap manis.

Namun semenjak tahun 1980-an rasa tempe seperti itu berubah. Harus memakai bumbu yang enak agar lezat. Harus digoreng dengan api kecil agar hasilnya garing.

Mungkin disebabkan tempe yang dibuat dari kedelai yang didatangkan dari luar negeri.

Sepanjang ingatan, waktu itu dipropagandakan bahwa kedelai impor lebih unggul dibanding produksi lokal. Biji kedelainya lebih besar, berukuran seragam, bersih, kulit arinya mudah dikupas, proses peragiannya lebih cepat, dan setelah berbentuk tempe lebih empuk. Kelebihan itu dapat meningkatkan laba pengrajin tahu tempe.

Sebaliknya, kedelai lokal selain terasa lebih gurih, ia memiliki rendeman lebih tinggi, umur tanaman lebih singkat (2,5-3 bulan dibanding 5-6 bulan), dan berisiko lebih rendah terhadap kesehatan karena berasal dari benih alami bukan transgenik.

Tetapi pertimbangan keuntungan yang lebih besar telah mengalahkan keunggulan kompetitif kedelai lokal.

Kenyataan di mana rakyat Indonesia adalah pemakan kedelai terbesar di dunia setelah China membuat berbagai pihak terpesona. Komoditas itu diserap oleh 70 persen industri tempe, 25 persen untuk tahu, dan sisanya untuk kecap dan produk makanan lainnya.

Konsumsi yang besar itu telah merangsang produsen kedelai dunia untuk menguasai pasar Indonesia. Juga importir yang berdalih "demi kebutuhan domestik" akan kedelai.

Terhitung sejak tahun 2006, setengah dari kebutuhan kedelai itu dipasok dari pasar internasional dan semakin meningkat setiap tahunnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun