Mestinya liburan meninggalkan kenangan manis. Tapi yang saya rasakan adalah kesan pahit, ketika sebuah kecelakaan harus dialami isteri dan anak saya di Jogja.
Pada 2010 saya mengajak isteri dan anak semata wayang saya, Akhtar, yang baru berusia lima tahun liburan ke Jogja. Ini adalah liburan luar kota terjauh pertama kami yang tinggal di Bandung. Alasan terkuat memilih Jogja, karena memiliki sejumlah obyek wisata yang menarik namun jaraknya relatif berdekatan. Sehingga dengan waktu liburan tiga hari kami bisa mendatangi banyak tempat.
Walaupun sempat kelimpungan memesan hotel melalui on-line, akhirnya kami bisa sampai Jogja pada saat fajar menyingsing setelah melewati perjalanan dengan kereta malam selama delapan jam. Petugas hotel menyambut kami dengan ramah. Senangnya lagi, kami bisa memasuki kamar yang kami pesan meskipun belum masuk waktu check-in.
Naik Trans Jogja ke Prambanan
Kami menginap di sebuah hotel tak jauh dari Stasiun tugu dan Malioboro. Asyiknya lagi, kami cukup berjalan 50 meter sampai halte Trans Jogja lalu naik trayek 1-A untuk menuju ke obyek wisata Candi Prambanan. Harga tiket hanya Rp3000 per orang. Relatif murah untuk jarak tempuh yang menurut saya cukup jauh.
Dari stasiun Prambanan kami masih harus menyambung dengan delman hingga depan gerbang masuk kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi tersebut. Semula saya agak khawatir dengan naik delman, tapi Akhtar justru ingin naik kendaraan tradisional itu. Dipikir-pikir, benar juga sih pilihannya.
Matahari bersinar terik saat kami tiba di candi yang dipersembahkan untuk tiga dewa utama Hindu (Trimurti) yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah.
Sebelum berangkat ke Jogja, Akhtar sempat demam dan batuk. Karenanya, saya menjaga betul kesehatannya saat liburan di jogja. Termasuk menjaganya agar tidak terlalu lelah saat mengunjungi satu obyek wisata. Karena itu, kami tidak bisa menghabiskan waktu lama di Situs Warisan Dunia UNESCO, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Hanya komplek candi utama yang kami datangi. Sementara candi-candi di sekitarnya terpaksa kami lewati.
[caption id="attachment_283417" align="aligncenter" width="400" caption="Candi Prambanan, mudah dijangkau dari Kota Jangkau. (foto Benny Rhamdani)"][/caption]
Yang penting, saya sudah memberi Akhtar pengalaman visual secara langsung tentang candi yang dihiasi relief naratif epos Hindu; Ramayana dan Krishnayana ini. Kelak, bila Akhtar menemukan bacaan tentang candi Prambanan di buku sekolah maupun di buku cerita, dia bisa mengaitkan dengan pengalaman langsungnya dengan baik. Tidak seperti saya dulu ketika SD, bingung membedakan candi Prambanan dan Borobudur.
Pulang dari Candi Prambanan, kami kembali naik Trans Jogja dengan nyaman dan selamat sampai tujuan. Saya membayangkan di Bandung ada bus dari dalam kota seperti ini yang mencapai obyek wisata di sekitar Bandung.
Sewa Mobil Lebih Murah
Saya mengikuti saran teman agar saya menyewa mobil rental untuk jalan-jalan selama liburan di Jogja. Hari kedua di Jogja, saya pun menyewa mobil MVP seharga Rp350.000, termasuk bensin dan supirnya. Cukup murah jika menghitung waktu yang bisa kami hemat ketimbang harus pusing mencari kendaraan umum lagi dari satu titik ke titik lainnya.
[caption id="attachment_283418" align="aligncenter" width="442" caption="Mengagumi kemegahan candi Borobudur (foto: Benny Rhamdani)"]

Tujuan pertama kali adalah Candi Borobudur yang menurut supir kami, jaraknya sekitar 40-an kilometer. Karena saya meminta supir tidak ngebut, kami sampai lokasi di luar kota Jogja itu hampir satu jam kemudian. Apalagi kami beberapa kali bertemu titik kemacetan di perjalanan.
Rasa bosan di perjalanan akhirnya terbayar ketika mulai menyaksikan sosok Candi berbentuk stupa yang didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra ini.
Akhtar tampak bersemangat ketika menaiki tangga untuk mencapai puncak candi berupa stupa utama terbesar yang teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini. Kami pun berkeliling melihat-lihat 72 stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).
Saya ceritakan kepada Akhtar tentang mitos memasukan tangan ke celah candi dan memegang patung di dalamnya. Akhtar kemudian bersemangat melakoninya. Dan saya tersenyum ketika dia menyerah tidak bisa memegang patung Buddha.
[caption id="attachment_283419" align="aligncenter" width="396" caption="Bermain di tepi samudera, di Parang Tritis (foto: Benny Rhamdani) "]

Saat panas mulai menyinari Borobudur, kami memutuskan untuk menuju obyek wisata berikutnya, yakni Pantai Parang Tritis. Saya memasukkan obyek wisata ini ke agenda liburan karena ingin member pengalaman kepada Akhtar tentang samudera lepas. Maklum kami tinggal di kota yang jauh dari laut. Satu-satunya yang pernah Akhtar lihat adalah pantai Ancol.
Tentu dengan kondisi ombak yang besar saya menghapus niat berenang. Akhirnya kami hanya bermain di bibir pantai. Itu pun sudah cukup membuat Akhtar senang. Namun karena matahari masih bersinar terik, isteri saya meminta segera mengakhiri acara main di pantai. Pulang ke hotel? Tentu saja belum. Kami membeli ikan dan udang segar, yang kemudian kami masak di kedai-kedai yang siap memasakkan hidangan laut untuk turis yang datang.
[caption id="attachment_283420" align="aligncenter" width="358" caption="Kolam pemandian para selir. (foto Benny Rhamdani)"]

Setelah perut kenyang, kami pergi menuju kawasan Taman Sari di keraton lama. Komplek yang dibangun pada zaman Sultan Hamengku Buwono I (HB I) pada tahun 1758-1765 seperti baru selesai direnovasi ketika kami berkunjung. Cat-catnya masih terang dan bersih. Kami pun mengelilingi dtaman seluas lebih dari 10 hektar dengan sekitar 57 bangunan baik berupa gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, maupun danau buatan beserta pulau buatan dan lorong bawah air.
Saat pemandu lokal bercerita tentang kejadian-kejadian di Taman Sari, saya hanya nyengir saja karena ceritanya beraroma ‘orang dewasa’, padahal ada anak saya yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Misalnya saja tentang kolam pemandian yang dulu diisi banyak selir, lalu pangeran dari menara akan melempar kembang kepada wanita yang ingin ditidurinya.
Kesimpulan saya, obyek wisata ini tidak rekomendasi untuk anak-anak. Kami pun bergegas meninggalkan Taman Sari menuju ke Alun-Alun Selatan Yogyakarta yang terkenal dengan beringin kembarnya. Di sana saya ditunggu oleh sepasang penulis dengan seorang anaknya. Mereka langsung menantang kami melakukan acara ritual yang biasa dilakukan di alun-alun tersebut. Menurut mitos, siapa yang bisa melalui celah antara dua pohon beringin, maka cita-citanya akan terkabul.
[caption id="attachment_283422" align="aligncenter" width="387" caption="Berhasil dua kali melewati celah beringin kembar. (foto: Benny Rhamdani)"]

Akhtar melakukannya dengan semangat. Dua kali dia melakkannya, dua kali dia berhasil. Begitu pula dengan isteri saya. Yang lucu adalah dua teman saya yang orang Jogja malah tidak pernah sampai-sampai. Bahkan mendekati pun tidak. Salah satunya malah berjalan kembali ke tempat semula.
Itulah akhir perjalanan hari kedua yang menyimpan kesan warna-warni.
Malam Itu …
Hari ke-3 di Jogja kami lewati dengan berburu oleh-oleh ke beberapa tempat yang sudah terkenal. Sebut Pasar Beringharjo dengan batik murahnya, juga pernak-pernik di Malioboro, dan bakpia di kawasan Pathuk.
Rasanya sudah banyak cerita tentang keunikan di tempat tersebut sehingga saya sendiri tak tahu harus menulis sisi yang mana. Tapi saya berharap agar tiga tempat tersebut lebih ramah dan bersahabat untuk wisatawan cilik seumur anak saya. Seperti diketahui, anak-anak cenderung cepat bosan jika menuju tempat belanja. Alangkah baiknya jika di tiga kawasan tersebut disediakan tempat rekreasi atau arena bermain untuk anak yang nyaman. Sebab tidak mugkin juga meninggalkan anak balita di hotel sementara orangtuanya belanja.
Saat sore menjelang, kami pun berkemas hendak kembali ke Bandung. Barulah sekitar pukul 8 malam kami menuju ke Stasiun Tugu. Untuk mencapai Stasiun Tugu kami memilih naik dua becak. Satu becak untuk anak dan isteri saya. Satu becak lagi untuk saya dan bagasi.
Seperti biasa saya minta tukang becak mengayuh perlahan, begitu juga isteri saya. Becak saya melaju lebih dulu di jalan Pasar Kembang. Menjelang 5 meter menuju gerbang masuk, tiba-tiba saya mendengar suara tangisan yang keras. Saya kangsung menyadari itu adalah suara anak saya.
Saya minta becak yang saya tumpangi berhenti, dan tukangnya saya minta menjaga bagasi saya. Segera saya berlari ke belakang, dan melihat isteri saya sedang berusaha menangani Akhtar. Rupanya, becak yang ditumpangi isteri dan anak saya terguling.
Saya langsung menggendong Akhtar dan berusaha keras menenangkannya. Saya tanya ada bagian tubuhnya yang sakitkah? Dia menggelengkan kepala. Sementara isteri saya memeriksa bagian tubuhnya khawatir ada yang luka.
Sejumlah orang hanya mengerumun. Saya segera menggendong anak saya ke dalam stasiun. Sementara bagasi diurus isteri saya. Cukup lama … akhirnya Akhtar berhenti dari tangisnya.
[caption id="attachment_283423" align="aligncenter" width="387" caption="Akhtar berusaha tersenyum setelah melewati pengalaman pahit. Sisa airmatanya masih tampak. (foto: Benny Rhamdani)"]

Isteri saya bercerita, becak yang ditumpanginya akan belok ke kanan ketika tiba-tiba ada sepeda motor menyalib dan membuat becak kemudian oleng hingga akhirnya terjungkal. Dan pengendara sepeda motor yang tak bertanggungjawab itu sampai sekarang tidak saya ketahui rupanya.
Sambil menunggu kereta ke Bandung tiba, isteri saya yang pernah bekerja di rumah sakit meyakinkan saya bahwa Akhtar sepengetahuannya baik-baik saja. Apalagi dia juga sudah menelepon kerabat yang tahu soal medis. Alhamdulillah, Tuhan masih melindungi kami.
Meskipun Akhtar tak cedera, namun saya tetap menganggap kejadian itu sebagai pengalaman liburan paling buruk yang pernah kami alami. Bahkan hingga saat ini, berarti tiga tahun kemudian, Akhtar masih ingat benar kejadian yang dialaminya itu. Sebuah pengalaman traumatis yang sulit dihapus dari memorinya.
Saya sendiri, yang biasanya langsung menulis ke dalam blog setiap usai perjalanan, baru kali ini mau menuliskan pengalaman liburan ke Jogja itu.
00OOoo
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI