Sewaktu menuliskan artikel ini, saya sedang menggarap buku tentang bahagia yang tidak selesai-selesai selama dua tahun. Alih-alih menulis, saya malah mencari lebih dalam makna bahagia, terutama lewat buku-buku. Saya menemukan berbagai ujung definisi bahagia, baik yang tersaji secara filosofis maupun secara ilmiah sehingga membuat pikiran ini digedor-gedor tentang kebenaran makna bahagia. Pada satu kesimpulan saya terjentik pemikiran bahwa tidak mungkin saya meneruskan menulis jika saya sendiri tidak berbahagia. Lalu, apakah saya kini berbahagia?
Muncul lagi pertanyaan apakah orang yang menulis selalu didorong oleh kebahagiaan? Tidak juga karena ada yang menulis dalam kondisi tidak bahagia. Orang-orang yang tidak bahagia, disadari atau tidak olehnya, dapat menjadikan menulis sebagai terapi. Mungkin karena itu Naning Pranoto menulis buku berjudul Writing for Therapy: Menyembuhkan Luka Emosi, Galau, Patah Hati, Luka Hati, Luka Jiwa dengan Kata-kata. Judul itu saja sudah menyiratkan penulis memborong semua derita untuk diselesaikan dengan kata-kata.
Tidak dimungkiri memang menulis adalah salah satu jalan untuk mendapatkan kebahagiaan secara sederhana. Katakanlah itu jalan untuk mendapatkan rezeki meskipun masih banyak orang di negeri ini mengeluhkan profesi sebagai penulis. Menulis juga menjadi jalan untuk terhubung dengan banyak orang yang terkadang menempatkan penulis sebagai tokoh yang dikagumi hingga menghasilkan banyak pengikut dan pengagum, apalagi pada era media sosial kini. Menulis juga jalan untuk meraih eksistensi diri pribadi, termasuk memperoleh pengakuan atas pencapaian-pencapaian yang telah dilakukan seseorang.
Sebagian besar orang tidak dapat melepaskan diri dari tulisan dan sebagian orang lagi juga tidak dapat melepaskan diri dari aktivitas tulis-menulis. Tidak ada satu bidang pun di dunia ini yang dapat lepas dari tulis-menulis. Agar menulis menjadi sebuah kebahagiaan, seseorang tentu harus memiliki kapasitas diri untuk menulis.Â
Karena itu, berbagai bentuk pelatihan, lokakarya, dan seminar menulis kini juga digandrungi, baik oleh anak-anak muda maupun mereka yang sudah berusia senior. Mereka berlomba ingin menulis dan tulisannya dinyatakan layak publkasi. Namun, siapa sangka kemudian urusan publikasi menjadi begitu mudah. Media daring adalah jawabannya ketika tidak ada lagi sensor, sortir, filter terhadap tulisan seseorang, apalagi jika ia memiliki dan menguasai media sendiri bernama blog dan situs.
Kebahagiaan dari menulis menjadi ambigu. Apakah mereka yang melontarkan berita bohong dan fitnah di media internet itu menulis dengan bahagia dan sukacita? Boleh jadi demikian karena dari situ mereka mendapatkan imbalan-imbalan lain yang membuat dirinya berbahagia dalam konteks sempit yaitu mendapatkan uang dan popularitas. Atau dalam bentuk lain menulis sebagai ekspresi dendam dan sakit hati. Apakah ini juga sebuah terapi?
Makin hari makin banyak tulisan yang diproduksi dan makin menunjukkan sebuah kekacauan yang mengisyaratkan zaman kalabendu. Tujuan orang menulis sudah bermacam-macam dan bercampur baur. Romantisme menulis sebagai seni menata dan mengolah kata-kata hingga tampak indah dan berguna sudah bergeser pada makna-makna lain. Orang tidak lagi mementingkan indah dan berguna, tetapi bagaimana agar informasi yang dikemasnya sedemikian rupa tersebar cepat secara viral dan merasuki pikiran serta perasaan banyak orang--tak peduli apakah itu akan menciptakan kegaduhan.
Alhasil, pencarian menulis untuk bahagia adalah pencarian sejati mata air literasi yang sebenarnya tidak sulit ditemukan, tetapi tertutupi oleh banyak ranjau yang menyebar dan kamuflase. Perjuangan menulis untuk bahagia lebih dahsyat lagi demi menafikan segala ketidakteraturan dan kekacauan yang disebabkan media internet. Kita yang menulis demi bahagia kadang tergoda juga menjadikan tulisan sebagai senjata tajam yang menikam atau tameng untuk berlindung mati-matian.
Karena itu, bijaklah berhenti sejenak untuk menata benak. Menulislah untuk diri sendiri dan nikmatilah masa-masa menulis tanpa terhubung dengan dengan dunia luar, apalagi internet. Menulislah dengan cara solilokui ataupun senandika, berbicara dengan diri sendiri dan menemukan ide segar untuk dituliskan. Biarkan kata-kata mengalir dan meliuk-liuk menyuratkan makna sambil Anda membayangkan sungai yang jernih dan jelah tampak apa di dasarnya.
Buku yang saya tulis tentang bahagia makin menunjukkan wujudnya setelah berkali-kali saya mengubah kerangkanya, termasuk judul. Saya tak ingin menggegasnya sebagai tekanan tenggat (deadline) tanpa rasa bahagia. Jika demikian, saya mengingkari apa yang saya tulis tentang bahagia. Bahagia itu bukan tanda tanya dan bukan pula tanda koma. Bahagia ada dalam perjalanan seperti menulis juga sebagai sebuah proses yang harus dinikmati. Kapasitas diri yang membuat persiapan menuju bahagia lebih terencana. Menulis untuk bahagia berarti menulis dengan sebuah rencana sesuai dengan kapasitas diri, lalu memutuskan tulisan itu akan jadi apa dan untuk apa. Bahagia adalah salah satu konsekuensi di samping derita. Selamat menulis...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H