Kemiskinan di Indonesia yang jumlahnya sekitar 11,66 persen atau berkisar 28 juta penduduk adalah sebuah problem yang harus dientaskan. Untuk mengukur kemiskinan pada tahun 2013 ini, BPS menggunakan konsep memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi dalam memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Fakta yang terjadi di atas merupakan data yang riil dan tidak bisa ditutup-tutupi karena ini adalah realitas. Menurut data BPS lagi, daftar komoditi yang memberi pengaruh besar pada kenaikan garis kemiskinan adalah beras yang mencapai 33,38%. Padahal, negeri kita ini sesungguhnya memiliki kurang lebih 70-an bahan pokok yang mengandung karbohidrat seperti nasi. Namun karena di benak kita bahwa hanya nasi-lah yang merupakan untuk memenuhi kebutuhan karbo dalam tubuh, maka orang Indonesia merasa belum makan kalau belum makan nasi. Sekali lagi, itulah realitas di negeri muslim terbesar ini.
Negeri penghasil singkong terbesar no. 2 se-Asia Tenggara setelah Vietnam ini begitu bergantung terhadap beras juga terhadap gandum yang turunannya adalah terigu. Lihatlah perkembangan pola konsumsi pangan pokok di Indonesia sejak 1954-2010: Tingkat konsumsi kita terhadap beras di tahun 1954 sejumlah 54%, singkong 22%, jagung 19%, dan lainnya 5%. Pada tahun 1999, konsumsi kita terhadap beras melonjak cukup signifikan menjadi 86%, konsumsi singkong Cuma 5%, dan jagung lebih parah lagi, hanya tercatat 2%, sedang lainnya justru meningkat menjadi 7%. Dan pada 2010, penduduk Indonesia dari Sabang sampai Merauke telah “diberaskan” mindset-nya dalam pola konsumsi.
Hanya di Indonesialah di Asia Tenggara yang konsumsi beras tiap orangnya mencapai hampir 140 kg dan terigu 17 kg per tahun. Padahal, rata-rata konsumsi nasi di wilayah ASEAN, cuma kisaran 60 kg per orang. Sedihnya lagi, kebutuhan beras buat bangsa ini sebagian diimpor dari Vietnam dan Thailand. Karena itu tidak heran, menurut sumber dari Departemen Pertanian, Produksi, Suplai, dan Distribusi Amerika Serikat pada 2012, Indonesia menempati peringkat ke-3 dunia sebagai negara dengan tingkat konsumsi beras terbanyak di dunia setelah China dan India. Dan sebagai negara pengimpor tepung terigu terbesar se-Asia dan terbesar nomor 2 sedunia setelah Mesir.
Mari kita petakan permasalahan pangan yang mencekeram negeri yang subur tapi belum makmur ini:
1.Jumlah penduduk miskin dan rawan pangan yang relatif masih tinggi (kisaran 12% dari total penduduk.
2.Dijadikannya peran strategis beras guna memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, dan ketahanan nasional.
3.Tingginya konsumsi terigu nasional.
4.Pangan lokal yang berbahan karbohidrat masih dipersepsikan masyarakat dengan nilai sosial yang lebih rendah dari beras.
5.Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita diabetes terbesar no. 4 di dunia.
6.Indonesia merupakan negeri dengan jumlah penderita obesitas sekitar 32,9% sesuai data WHO 2010.
Sungguh mengerikan melihat efek yang ditimbulkan bila penduduk Indonesia terus menggantungkan pola pangan masyarakatnya dengan beras dan terigu tanpa memperhatikan pangan alternatif yang justru sehat dan dapat mendiversifikasi segala hal. Dengan diversifikasi pangan, bisa tercipta ragam panganan yang lebih menarik dan tidak membosankan. Petani pun lebih bisa berkreasi terhadap jenis tanaman yang dibudidayakannya. Sebab tidak semua daerah di Indonesia memiliki lahan sawah, bahkan jumlah area untuk padi sawah lebih sedikit terhadap ladang atau kebun yang bisa ditanami sumber karbohidrat nonberas.
Beras merupakan sumber pangan dengan kadar indeks glikemiks tertinggi no 2 setelah terigu. Kadar indeks glikemiks itu sendiri adalah proses berubahnya asupan makanan yang kita konsumsi menjadi gula dalam tubuh. Jika dipersentasekan, tepung terigu dan beras adalah bahan pangan yang memiliki kadar indeks glikemiks tertinggi dengan hitungan 100% untuk terigu dan 90% untuk beras. Karena itu, di dunia medis pun, dokter selalu menganjurkan kepada para penderita diabetes untuk mengganti karbohidratnya dengan makanan nonnasi atau pun nonterigu. Nasi dan terigu-lah yang memicu gula darah cepat naik karena dalam waktu 2 jam, nasi dan terigu berubah menjadi gula, sedangkan penderita diabetes itu sediri tidak dapat menghasilkan insulin dengan cepat untuk mengubah gula tersebut menjadi energi.
Sedangkan bahan pangan lain yang mengandung karbohidrat seperti jagung, umbi-umbian, singkong, kentang, dan sejenisnya rata-rata kandungan indeks glikemiks-nya kisaran 50% ke bawah. Wajar saja bangsa kita menjadi penderita diabetes dan obesitas terbesar se-Asia Tenggara, karena tingkat konsumsinya terhadap dua komoditas tersebut (nasi dan terigu) begitu tinggi.
Sedangkan efek lain dari tepung terigu seperti informasi yang dirilis oleh Shanghai Dailymenyebutkan bahwa kandungan aluminimium sebesar 40%- yang berasal dari tepung terigu yang akan berefek pada gangguan syaraf, pernafasan, hingga pembentukan tulang, menurut Chen Junshi, seorang pakar pangan China. Maka tak heran tepung terigu bisa dikategorikan sebagai pembunuh terbesar rakyat China, seperti yang ditulis salah seorang jurnalis. Sedangkan di China sendiri, 32,5% rakyatnya kelebihan aluminium yang terdapat dalam tepung terigu.
Belajar mengubah pola pikir dalam konsumsi adalah cara cerdas seorang konsumen yang bisa menghidupkan roda perekonomian dan menghindarkan dari penyakit degeneratif. Bila Anda menginginkan tubuh yang sehat dan perekonomian yang sejahtera, mengubah mindset Anda adalah solusi tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H