Mohon tunggu...
Mbah Ukik
Mbah Ukik Mohon Tunggu... Buruh - Jajah desa milang kori.

Wong desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seniman Kreatif Pertahankan Wayang Kulit, Anak Muda Masih Mau Menonton?

30 Agustus 2015   08:59 Diperbarui: 30 Agustus 2015   10:32 1123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu kesenian tradisional Jawa bahkan Nusantara yang paling terkenal adalah seni wayang kulit, seni yang semakin berkembang sejak dijadikan salah satu media syiar Islam oleh Sunan Kalijaga beberapa abad silam. Gaung pertunjukan wayang kulit sampai kini pun masih menggema. Bahkan, masih ada televisi swasta yang menyiarkan siaran langsung pada saat-saat tertentu, apalagi stasiun televisi lokal.

Namun, apakah wayang kulit masih menjadi tontonan yang menarik, apalagi bagi kaum muda? Sebuah pertanyaan retorika yang telah diketahui jawabannya. Banyak orang yang sudah enggan menonton wayang kulit secara langsung. Alasan pertama, sudah tak tahan lagi atau enggan duduk semalam suntuk. Kedua, sudah mengetahui ceritanya. Ketiga, sudah sulit memahami bahasa yang digunakan oleh ki dalang yang lebih sering menggunakan bahasa Jawa halus atau krama inggil, yang oleh kaum muda dianggap sebagai bahasa para dewa. Apalagi pada saat percakapan tingkat tinggi yang mengandung pesan-pesan moral dan etika. Semakin sulit bagi kaum muda untuk mengerti dan memahami.

Satu kekeliruan penilaian dalam menonton pertunjukan wayang kulit bahwa cerita telah diketahui pada akhirnya. Menonton wayang kulit bukanlah mendengarkan cerita tentang perseteruan dan perebutan kekuasaan antara Pandawa dan Kurawa seperti dalam kisah Mahabarata. Atau dalam Ramayana yang mengisahkan ketulusan cinta Rama dan Shinta yang tak terhalang oleh nafsu menguasai dari Rahwana atau Dasamuka.


Dalam lakon wayang kulit tradisional Jawa bukanlah tentang kekuasaan dan cinta belaka atau perseteruan dua kelompok yang saling bertentangan, tetapi bagaimana seseorang harus menghadapi dan memecahkan masalah yang pelik yang ada sebelum pada akhirnya harus diselesaikan lewat pertempuran. Kisah-kisah sempalan atau dikenal dengan kisah carangan seperti Dewa Ruci, Karna Tanding, Petruk Dadi Ratu, Semar Ambangun Negara, Bale Sigolo-golo, dan Anoman Obong merupakan lakon di mana sang tokoh menghadapi dilema dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang kadang bertentangan dengan hati nuraninya.


Di sinilah, kekuatan atau kemampuan ki dalang sebagai pelaku utama untuk menghidupkan sebuah kisah yang dengan tokoh yang tetap, menjadi tak membosankan dengan dialog yang mengalir antara tokoh yang dituakan dan dihormati seperti Kresna dan Semar dengan para ksatria yang harus membela kebenaran. Di sisi lain bagaimana ki dalang harus terampil dan gesit memainkan (menghentak, melempar, dan menyabetkan) wayang setelah dialog singkat untuk menghindari perkelahian antara tokoh yang berseteru. Keterampilan ini tentu saja harus didukung pula oleh para wiyaga atau penabuh gamelan dalam mengiringi pertempuran semakin hidup dan seru. Panjak atau penabuh kendhang dalam adegan peperangan amat dominan dibanding dengan panjak lainnya.


Pada saat dialog penuh pesan moral sebelum melangkah ke pertempuran, di mana suasana menjadi mencekam, iringan yang paling mengena adalah gesekan rebab dan pukulan gambang yang menjadi suasana malam semakin syahdu. Apalagi dengan iringan rengeng-rengeng para sindhen seperti pada kisah saat Dewi Kunti menagih air susunya pada Yudhistira yang enggan bertempur menghadapi Dursasana saudaranya.
Pertunjukan wayang kulit memang bukan penyajian cerita klasik semata yang hanya berisi nasehat dan pesan moral. Tetapi juga menggambarkan kehidupan rakyat jelata yang tetap mengharapkan negerinya selalu gemah ripah loh jinawi tata tentrem kertaraharjo yang artinya subur makmur dan damai sejahtera.

Intrik dan perselisihan juga ada seperti dalam sesi goro-goro, di mana digambarkan kehidupan sederhana para punakawan atau para rakyat jelata yang hidup di Karang Kedampel atau Klampis Ireng menjadi jujugan tokoh terutama Arjuna dalam menghadapi kenyataan hidup yang pait. Atau kisah wanita yang berangan hidup sejahtera dan mempunyai pasangan yang gagah perkasa dan tentu saja kaya serta dari kelompok ksatria seperti yang dipercakapan oleh Lembuk (wanita gemu) dan Cangik (wanita kurus) yang terobsesi ingin seperti Srikandi, Sembadra, atau pun Betari Durga yang ambisius dan serakah.


Pada goro-goro, biasanya disisipkan dialog ‘pesan sponsor’ dari pejabat tentang kegiatan pemerintah yang harus didukung serta diiringi dengan humor-humor ringan atau penampilan seorang seniman dengan menyanyikan lagu-lagu Jawa yang banyak digandrungi. Tak menutup kemungkinan menampilkan seorang pejabat yang menguasai seni tradisional.

Hal yang kini sudah jarang dilakukan oleh seorang dalang dalam memainkan lakon, yakni melakukan ritual sederhana berupa pembakaran dupa dan penyajian sesajian. Kalau toh dilakukan hanya bersifat seremonial belaka. Serta penampilan atau dimunculkannya tokoh dari para dewa seperti Betara Guru dan Narada apalagi Dewa Ruci. Tentu ini semua berkaitan dengan pandangan para pelaku wayang kulit, mulai dari yang punya hajat, ki dalang, pesinden, para panjak, dan penonton yang mulai meninggalkan pandangan pantheisme mereka. Tembang-tembang relegius (Islam dan Katolik) mulai sering ditampilkan dengan segala risikonya.

Para pelaku dari kaum muda yang masih bertahan.

Perubahan penampilan pertunjukan wayang kulit seperti ini memang mulai tampak pada pertengahan 80-an saat mulai dimasukkannya alat musik modern drum untuk menambah serunya hentakan saat peperangan. Demikian juga pada awal 90-an dengan dimasukkannya elektone untuk menambah kesan modern dalam menampilkan para artis atau seniman lokal saat acara goro-goro. Bahkan kami pun pernah menampilkan dengan kilatan-kilatan sinar laser untuk menambah serunya pertempuran para pembela kebenaran menghadapi keangkaramurkaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun