Masa Orde Baru atau ORBA adalah masa yang bisa dibilang kelam bagi sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Bagaimana tidak, ketika harapan tentang pembangunan bangsa yang lebih baik setelah krisis ekonomi yang sangat luar biasa pada Zaman Soekarno ternyata hanya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat kemanusiaan yang harus diterima oleh bangsa Indonesia. Seperti yang kita ketahui, bahwa pers merupakan bagian dari pilar demokrasi, ketika orde baru seakan pers tidak bisa memberitakan atau memberikan tentang keadaan yang jujur karena tekanan negara.
Secara keseluruhan, rezim Orde Baru selalu berusaha menempatkan media sebagai bagian dari ideological state apparatus, yang diharapkan dapat berperan dalam mereproduksi dan menjaga stabilitas legitimasi rezim. Untuk itulah Orde Baru menerapkan kontrol relatif lengkap pada semua lini media, yaitu Pertama, kontrol prefentif dan korektif terhadap kepemilikan institusi media. Kedua, kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (antara lain wartawan) melalui mekanisme seleksi dan regulasi. Ketiga, kontrol terhadap produk teks pemberitaan, baik isi maupun isu pemberitaan, melalui berbagai mekanisme. Keempat, kontrol terhadap sumber daya, antara lain berupa monopoli kertas oleh penguasa. Untuk media penyiaran, frekuensi jelas terbagi pada kroni penguasa Orde Baru dan menjadi penopang bagi berlangsungnya kekuasaan rejim.Terakhir, kontrol terhadap akses ke pers yang berupa pencekalan tokoh-tokoh tertentu untuk tidak ditampilkan dalam pemberitaan pers.
Kondisi berubah pada masa akhir kekuasaan Orde Baru, suara-suara tokoh yang kritis mulai muncul di media massa yang pada akhirnya tidak bisa dibendung lagi. Setelah 32 tahun berlalu, bangsa Indonesia mengalami peristiwa besar dalam sejarah perkembangan demokrasi, yaitu masa Reformasi. Masa Reformasi, seperti telah membuka kembali kran demokrasi yang sempat terhenti dan terputus itu, dari mulai adanya desentralisasi sampai pada kebebasan pers sebagai tonggak informasi penyokong laju demokrasi. Ketika rezim Orde Baru pada akhirnya jatuh, kebebasan pers belum sepenuhnya terwujud. Kebebasan itu belum memiliki dasar hukum yang kuat. Kebebasan bermedia yang baru muncul tersebut baru bersifat de facto, belum de jure.
Kemerdekaan bermedia belum memiliki landasan yang kuat karena masih banyak agenda reformasi waktu itu yang ingin termanifestasi dalam waktu singkat, belum lagi ancaman disintegrasi Indonesia terlihat di depan mata. Relasi media dengan negara secara umum kemudian berubah. Negara pasca Orde Baru oleh hukum tidak dibolehkan lagi mengontrol dan mengintervensi media. Media pun relatif bebas dan independen pada masa awal setelah Orde Baru runtuh walau pada akhirnya kondisi yang bagus relasi negara dan media tersebut tidaklah berlangsung lama karena relasi media dan negara melalui regulasi tidak dibenahi tuntas.
Pemanfaatan media dalam bidang politik, lokal maupun nasional, semakin terlihat jelas pada pemilihan umum tahun 2004 dan semakin menguat pada tahun 2009. Media digunakan bukan hanya sebagai sarana pemberi informasi tetapi lebih pada sarana pembentuk citra positif yang minim esensi. Sejak pemilu 2004 terlihat bahwa event politik bukan hanya sebagai ajang kompetisi program dan kebijakan politik para kandidat, melainkan seperti ajang kontes pencari bakat dan ajang pengumbar janji belaka, bukan rencana solid dan fakta yang telah terbukti.
Tetapi, secara umum media tidak lagi diintervensi oleh negara atau pun pemerintah. Media bisa berposisi berseberangan dengan penguasa tanpa takut dikenai kontrol oleh penguasa. Media bebas memberikan kritik kepada penguasa tanpa khawatir menjadi sasaran tindakan dari penguasa. Ternyata, tindakan yang berbeda dengan penguasa tersebut tidak sepenuhnya berpihak pada publik, namun lebih karena pemilik media yang bersangkutan berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. Sebagian pemilik media pun, terutama televisi, secara terang-terangan berperan pula sebagai politisi
Pada masa awal Reformasi negara masih menjaga peran tersebut, kemudian setelah sekitar satu dekade, peran dalam menciptakan kebebasan bermedia tersebut pelan-pelan memudar digantikan dengan “peran” untuk membuat negara berkuasa kembali atas media. Pemerintah, merupakan bagian dari negara, yang pada masa awal Reformasi dikurangi fungsi kontrolnya atas media dan informasi. Kenyataannya, bukan hanya tekanan dari negara terhadap media, melainkan juga tekanan dari pasar dan sebagian elemen masyarakat yang cenderung menggunakan cara-cara anti demokrasi terhadap media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H