[caption id="attachment_295002" align="aligncenter" width="300" caption="Foto Koleksi Pribadi"][/caption] Di Kota Depok ada sebuah tugu ‘tersembunyi’ yang seringkali lepas dari perhatian. Ketersembunyian itu dikarenakan lokasi tugu berada agak jauh dari badan jalan di titik kemacetan, tepatnya di ujung jalan Margonda di seputaran Fly Over UI (Universitas Indonesia). Alasan lain adalah jenggreng (sosok) Tugu tersebut lebih terasa sebagai ‘ucapan lesu’ “Selamat Jalan” bagi mereka yang akan meninggalkan Kota Depok, karena hampir-hampir tugu tersebut hanya bisa dilihat jika seseorang mengamati dengan teliti ke arah jauh dari batas Gapura Belimbing Kota Depok pada saat melaju menuju utara ke Lenteng Agung, Jakarta. Tugu tersebut berada di tengah-tengah sebuah Taman berbentuk segitiga. Barangkali karena terganggu oleh keindahan Taman yang cukup terawat serta bangunan Tugu yang tidak terlalu tinggi, maka tugu tersebut tidak mudah untuk diketahui. Tugu Elang Salak Tugu tersebut berupa Seekor Burung Mencengkeram Setangkai Buah di atas Sebuah Bangunan Segi Empat Berwarna Putih setinggi kurang lebih 3 meter. Entah apa nama Tugu tersebut, sebagian orang menyebutnya “Tugu Elang Salak”, yang disandarkan pada symbol Burung Elang dan Buah Salak yang berada di puncak Tugu. Bagi yang cermat memaknai Tugu akan bertanya-tanya, apa hubungan Burung Elang dan Buah Salak dengan Kota Depok. Pasalnya Depok telah dicanangkan oleh Walikotanya, Nur Mahmudi Ismail sebagai Kota Belimbing, bukan Kota Salak, dan juga bukan Kota Elang. Telusur punya telusur, ternyata “Tugu Elang Salak” memang dibangun jauh sebelum lahirnya Kota Depok. Simbol yang diambil pun jauh dari satwa dan buah khas Kota Depok. Di Depok tidak ada satwa khas, sedangkan untuk buah, meskipun bukan buah asli Depok, Belimbing memang sedang digalakkan oleh Depok untuk menjadi produk unggulan dan menjadi Lambang Kota. Lalu apa hubungan Burung Elang dan Buah Salak dengan Depok? Itulah hal paling menarik dari Tugu Misterius ini. Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Jeda waktu antara dibangunnya Tugu dengan saat sekarang terlalu lama. Tapal Batas Propinsi Jawa Barat dan Program Konservasi Tugu Elang Salak sesungguhnya adalah symbol untuk mengomunikasikan Program Konservasi kawasan luas di Propinsi Jawa Barat. Area yang disimbolkan oleh Tugu Elang Salak jauh lebih luas dibandingkan wilayah Kota Depok saat ini. Wilayah Kota Depok hanya mencakup 11 kecamatan, sedangkan wilayah yang disimbolkan oleh “Tugu Elang Salak” mencakup Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Gunung Salak, dan Gunung Halimun. Sebagian besar area tersebut saat ini berada di wilayah Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Depok yang pada saat dibangunnya Tugu hanya sebuah kecamatan di wilayah administrasi Kabupaten Bogor berbatasan dengan Propinsi DKI Jakarta, dipandang perlu untuk didirikan sebuah tugu tanda batas Propinsi Jawa Barat. Mengingat bahwa ‘pemandangan terindah’ Gunung Salak adalah jika dinikmati dari Depok bagian selatan, dan saat itu sedang dilakukan program konservasi satwa dan tumbuhan khas yang ada di ketiga gunung tersebut, maka Pemerintah Propinsi Jawa Barat membangun sebuah tugu di Depok sebagai bagian dari Program Konservasi. Pesan yang ingin disampaikan kurang lebih “Anda Memasuki bagian Propinsi Jawa Barat yang sedang dicanangkan Program Konservasi Satwa dan Tanaman Khas dan Langka”. Elang Ular Mengapa Burung Elang dan Buah Salak yang dipilih untuk menjadi symbol sekaligus Penanda Batas Propinsi? Karena Burung Elang dan Buah Salak adalah satwa dan buah khas yang konon hidup dan tumbuh di kawasan Gunung Gede, Gunung Salak dan Gunung Halimun. Burung Elang yang dimaksud adalah Elang Ular (Colocalia Sp.), sedangkan Salak yang dimaksud bukanlah sembarang salak seperti yang dijumpai di pasar-pasar. Salak khas Gunung Salak adalah Salak Rambat (Salacca Sp.). Elang Ular saat ini tidak pernah lagi disaksikan di langit Kota Depok, namun menurut banyak warga Depok, sampai dengan awal Reformasi tahun 1998, masih sering dijumpai burung langka tersebut berputar-putar meliuk di angkasa Depok, bahkan sesekali tiga ekor Elang Ular terbang bersamaan. Alangkah indah andai hari ini satwa dilindungi itu masih bisa disaksikan di pinggiran kota Jakarta, yaitu Depok. Tapi entahlah, apakah mereka sudah benar-benar punah atau memilih bersembunyi karena takut ditangkap manusia jika menampakkan diri. Menurut sebagian kalangan yang memiliki perhatian terhadap satwa, konon Elang Ular berwarna hitam legam tanpa jambul. Berbeda dengan Elang-Garuda Berjambul yang hidup di Pegunungan Dieng Jawa Tengahyang seringkali memamerkan terbang anggunnya. Secuplik informasi itu konon merujuk kepada sebuah Perkamen bertahun 1833 yang ditulis oleh seorang Belanda bernama van Cohen (ejaan benarnya bisa jadi tidak demikian). Masih menurut Perkamen tersebut, Sang Meneer menyebutkan pernah melihat seekor burung terbang di lereng timur Gunung Gede yang mirip dengan Elang Garuda berjambul, tetapi Elang Gunung Gede berwarna hitam legam itu tidak berjambul. Tak lain elang itu adalah Elang Ular. Konon Sang Burung Hitam itu memperdengarkan suara “cli…cli…cli…”. Dipastikan bahwa nama burung tersebut adalah Elang Ular, diantaranya merujuk pada buku Burung-Burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantar, terbitan LIPI, bersumber dari hasil pengamatan para birds watcher John Mac Kinnon, Karen Philips, dan Bas van Valen. Keterangan selengkapnya konon bisa dicari di Museum Zoologi Cibinong, Perpustakaan Salemba, dan beberapa jurnal tua di FMIPA Biologi Universitas Indonesia. Simbol Dunia Hitam Sisi lain Elang Ular adalah penobatannya sebagai symbol kekuatan hitam yang masih terpelihara hingga sekarang. Barangkali karena warnanya yang hitam legam, sorot matanya yang tajam menakutkan, serta kehebatannya memangsa ular, maka Dunia Hitam sepakat menjadikannya sebagai symbol. Salak Rambat Salak Rambat jangan dibayangkan seperti buah Salak Pondoh sebesar genggaman tangan anak balita. Ukuran Salak Rambat konon hanya sebesar buah kelengkeng. Dari namanyapun jelas, ada kata “rambat” sebagai gambaran bahwa pohon salak jenis ini adalah merambat, tidak seperti Salak Pondoh yang pohohnnya seperti pohon nanas. Untunglah sampai hari ini konon masih bisa dijumpai pohon langka ini di lereng-lereng Gunung Salak dan Gunung Gede. Hanya saja populasinya sudah sangat jarang akibat perambahan dan alih fungsi hutan yang dilakukan oleh manusia, sehingga habitatnya makin terdesak ke tempat yang lebih tinggi. Penulis pernah melakukan camping dalam waktu yang berbeda di kawasan Gunung Gede, Gunung Salak dan Gunung Halimun antara tahun 2006 sampai dengan 2012, namun tidak menjumpai pohon maupun buah Salak Rambat. Mungkin tempat camping terlalu rendah di lereng sehingga tidak menemukan jejak buah langka lagi unik tersebut. Tugu Elang Salak bagi Warga Depok Itulah sebabnya keberadaan Tugu Elang Salak cukup membingungkan bagi warga Depok. Namun setelah memperoleh informasi mengenai asal muasal dan latar belakang dibangunnya Tugu, warga Depok menjadi mafhum bahwa ternyata ada cerita sangat berharga di balik Sang Tugu. Justru kini ada rasa bangga dengan adanya tugu tersebut. Meskipun saat ini Depok lebih sebagai Hinterland Jakarta dan lebih cocok disebut Kota Kuliner, Kota Pendidikan, atau Kota Sejuta Perumahan, namun keberadaan Tugu Tapal Batas Elang Salak menambah nilai lebih Depok sebagai Kota Pelestarian Alam. Mudah-mudahan warga Depok bisa mengambil pelajaran penting dari Tugu tersebut, bahwa tumpahnya kemajuan Jakarta ke Depok tidak boleh melupakan tanggung jawab menjaga kelangsungan hidup satwa dan tumbuhan khas dan dilindungi. Kelak anak cucu di generasi mendatang akan mengenang generasi sebelumnya karena telah mengingatkan mereka pada alam tempat nenek moyang mereka dulu hidup, meskipun hal itu hanya mereka dapatkan dari sesosok tugu. Itulah “Tugu Elang Salak”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H