Mohon tunggu...
Amien Laely
Amien Laely Mohon Tunggu... Administrasi - menyukai informasi terkini, kesehatan, karya sendiri, religiusitas, Indonesia, sejarah, tanaman, dll

menulis itu merangkai abjad dan tanda baca, mencipta karya seni, menuangkan gagasan, mendokumentasikan, mengarahkan dan merubah, bahkan amanah serta pertanggungjawaban

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyiapkan Generasi dengan Wayang Daun

9 Desember 2013   17:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:08 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_307482" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Indonesia adalah wayang, atau sebaliknya, wayang adalah Indonesia. Begitulah ingatan banyak orang. Mengingat wayang hampir selalu membayangkan satu hal yang berhubungan dengan Indonesia. Itulah sebabnya dalam Novel ketiganya, Rantau 1 Muara, Ahmad Fuadi tak lupa menyisipkan bab tentang wayang kulit, meskipun sedikit berbeda dengan aslinya.  Wayang kulit di Novel  tersebut tidak digelar dalam bahasa pakemnya, Jawa (yang sedikit kuno), tetapi digelar dalam Bahasa Inggris, dan diselenggarakan di Amerika. Justru karena itulah Alif yang Urang Awak menjadi mengerti isi cerita dalam Pertunjukan Wayang Kulit, sesuatu yang tidak dia dapatkan ketika masih di Indonesia.

Hal yang hampir sama dilakukan pula oleh seorang Zak Sorga,mengadirkan kembali wayang dengan cara berbeda dan baru.Senimanlegendariesreligious ini telah turun dari pertapaannya dengan membawa ‘senjata pusaka’ bernama WAYANG DAUN.

Bang Jack, begitu dia biasa disapa, hadir di tengah masyarakatnya dengan seni lama tapi baru. Wayang adalah seni lama warisan leluhur bangsa ini, dan Daun adalah sentuhan baru yang belum pernah dikenal sebelumnya dalam jagad pewayangan. Jadilah Wayang Daun, sebuah pertunjukan seni untuk menanamkan kembali budaya luhur negeri religious ini kepada semua orang, utamanya anak-anak. “Karena anak-anak membutuhkan pertunjukan, yang di dalamnya ada sosok teladan yang tangguh”, katan Zak ketika saya bertandang ke rumahnya, sekaligus ‘pertapaannya’, Sabtu, 30 Nopember 2013 yang lalu.

[caption id="attachment_307421" align="aligncenter" width="300" caption="Menjajal Wayang Daun Bersama Zak Sorga. Koleksi Pribadi."]

13865852141288155157
13865852141288155157
[/caption]

Adalah kepedulian seorang Zak Sorga melihat anak-anak di sekitar rumahnya, di sebuah kelurahan bernama Tanahbaru, Beji, Kota Depok, Jawa Barat. Mereka tumbuh terlalu akademik. Akal mereka hanya ‘diberi makan’ dengan mata pelajaran, padahal mereka perlu ‘nyawa’ agar jiwa mereka menggelora. Nurani mereka kering, sehingga mereka tidak tumbuh menjadi “Manusia Indonesia” yang seharusnya. Seorang Indonesia tidak cukup hanya smart, tetapi harus pula memancarkan jiwa seni dan akhlak budaya khas yang berbeda dengan bangsa lain. Jiwa seni itulah energy besar bangsa ini untuk maju dengan baik dan benar, begitu kurang lebih awal mula lahirnya Wayang Daun.

[caption id="attachment_307479" align="aligncenter" width="300" caption="Panggung Wayang Daun. Koleksi Pribadi"]

13866041901135087249
13866041901135087249
[/caption]

Bermula dari acara “Mendongeng” dan latihan teater yang diselenggarakan Bang Jack untuk anak-anak di sekitar tempat tinggalnya.  Dalam dua tahun terakhir kegiatan ‘seni rakyat’ ini berkembang pesat, apalagi pada bulan Ramadhan, ngabuburit diisi dengan ‘Dongenang Ala Zak Sorga’ yang menampilkan kisah-kisah Sahabat Nabi. Antara mendengar dan pentas bercampur menjadi satu. Anak-anak menyimak penuh semangat dan hanyut dalam hentakan-hentakan alur cerita dan monolog “Sang Pendongeng”. Sesekali mereka secara spontan ‘terhasut’ untuk ikut pentas memerankan tokoh Umar bin Khottob yang gagah berani. Pancingan “Sang Pendongeng” berhasil menghanyutkan mereka untuk menunjukkan kebolehannya menyerap pelajaran teater yang diajarkan Seorang Zak. “Berhasil”, kata hati Zak, telah memberikan hiburan dan sekaligus kursus teater bagi anak-anak.

Hingga kemudian Bang Jack menyadari, ada yang kurang dari “Sekolah Akhlak” ini. “Saya Perlu Properti”, kata Zak mengenang awal lahirnya wayang daun. Benar, Zak perlu alat peraga agar dongengannya semakin menarik. Dia ingat masa kecil ketika dulu orang-orang dewasa sering membuat wayang-wayangan dari daun singkong. Dari situlah ide Wayang Daun hadir. Namun proses penemuan wayang daun tidak sesederhana yang dibayangkan. Ada berbagai peristiwa yang membawa Zak akhirnya memutuskan bahwa property itu adalah wayang dan wayang itu dibuat dari daun. Misalnya seperti apa yang dikisahkannya, “Suatu saat saya berkunjung ke rumah adik saya dan di sana ada banyak tanaman lontar, maka saya terfikir untuk membuat wayang dari daun lontar”, begitu sebagian perjalanannya menemukan Wayang Daun. Pantas saja, sebagian besar wayang-wayangnya terbuat dari daun lontar.

Tokoh-tokoh dalam wayang daun tidak definitive seperti di wayang kulit ada Gatotkaca, Arjuna, atau Sengkuni. Zak ingin mendapatkan kebebasan lebih berekspresi, maka tokoh-tokoh dalam Wayang Daun adalah Tokoh Sifat, seperti Pribadi Pemarah, Pribadi Santun, Pribadi Ksatria, atau Pengikut Setia, dan sebagainya. Pribadi-pribadi itu bisa menjadi siapa saja dan siapa saja itu adalah sosok-sosok yang benar-benar pernah hidup dan mengukir kehidupan realitas manusia. Diharapkan dengan pakem seperti itu, anak-anak mendapatkan sosok teladan yang tidak saja ‘besar’ tetapi juga nyata. Maka suatu saat tokoh-tokoh Wayang Daun itu akan mementaskan Cerita Walisongo, Pangeran Diponegoro, KH Ahmad Dahlan, Bung Tomo, Bung Karno, dan barangkali Suharto atau SBY. Zak seperti ingin memadukan Seni dan Budaya dengan Fakta Sejarah. “Saat ini baru mempergelarkan kisah Sahabat Nabi, tetapi suatu saat akan mempergelarkan Sejarah Indonesia”, kata Zak. Itulah barangkali alasan Zak menciptakan Wayang Daun. Wayang yang lain belum bisa menuangkan ide ini, kalaupun bisa, sedikit agak didistorsi dengan tokoh-tokoh pakem wayang yang sudah ada, dan itu kurang memuaskan, setidaknya kurang memuaskan seorang Zak Sorga.

Waktu terus berjalan, kurang lebih satu semester ini, Zak Sorga menemukan bentuk Wayang Daunnya. Konten cerita, gaya penyampaian yang ‘njawani’ lagi komunikatif, dialog-dialog, musik ‘do-rog-dog’, dan sebagainya, telah menemukan bentuk dan feel-nya. Semuanya bersatu dalam sebuah pertunjukan Wayang Daun. Pertunjukan yang klasik, nyata dan actual berbaur menjadi satu.

Pendengar Dongeng telah ‘bermetamorfosis’ menjadi Penonton Wayang. Penikmatnya pun tidak lagi terbatas anak-anak, tetapi sudah merambah kepada orang dewasa. Panggung pertunjukan telah meluas kemana-mana, di awali dari halaman rumah, kini sudah merambah ke pesta sunatan dan pernikahan di kota lain, peringatan hari besar agama di masjid, dan beberapa pertunjukan yang sengaja digelar untuk itu. Untunglah Zak masih tetap mempertahankan pertunjukan rakyatnya untuk semua orang yang mau hadir di rumahnya setiap hari Sabtu sore hari kurang lebih pukul 16.00 wib.

“Bahkan warga Negara lain sudah tertarik dengan pertunjukan ini. Seorang berkebangsaan Jepang telah menyampaikan maksudnya untuk melihat lebih dekat Wayang Daun ini. Jika tidak ada hambatan, dia bermaksud menemui saya bulan April 2014 nanti”, kata Bang Jack.

Perhatian saudara sebangsa tentu saja lebih lagi. Beberapa kali para mahasiswa dan seniman hadir ke rumah Zak Sorga untuk mempelajari lebih jauh Wayang Daun. Bahkan ketika pekan lalu saya datang ke rumahnya, sedang ada liputan dari sebuah stasiun televise swasta untuk sebuah acara budaya. Hari ini saya dapat informasi tambahan bahwa liputan itu akan ditayangkan pada hari Selasa, 10 Desember 2013, pukul 11.00 wib. Sepertinya ada rasa tak mau kalah cepat dengan stasiun televise tersebut, saya segera menulis artikel ini.

Akhir kata, sebuah apresiasi ingin saya sampaikan kepada Bang Jack alias Zak Sorga atas karya seni kreatif yang terinpirasi dari budaya bangsa dan nilai-nilai luhur ini. Lebih-lebih karya seni tersebut diniatkan dan dimulai dari sebuah kepedulian kepada generasi mendatang. Indonesia memang miskin dengan tontonan yang pantas untuk anak-anak. Seakan dipaksa, anak-anak itu akhirnya menikmati tontonan yang tidak ditujukan untuk usianya. Tak ada pilihan lain, begitu, barangkali alasan mereka andai mereka bisa mengungkapkannya. Kehadiran Zak Sorga dengan Wayang Daun-nya memang belum banyak berarti bagi anak-anak Indonesia. Baru anak-anak di sekitar tempat tinggalnya yang bisa menikmati, itupun yang mau, karena kebanyakan mereka sudah terlanjur tertarik dengan hiburan-hiburan lain yang tidak dimaksudkan untuk membentuk kepribadian hebat Indonesia. Tapi tak mengapa, biarlah pertunjukan Wayang Daun Zak Sorga tak ditonton oleh semua anak, karena setidaknya setiap hari Sabtu selalu saja ada anak-anak dan orang dewasa hadir, bahkan semakin hari semakin banyak. Semoga menjadi amal ibadah bagimu, Bang Jack!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun