Ketika masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke 4, Gus Dur pernah melakukan kunjungan kerja ke DPR RI. Entah apa kala itu yang menjadi alasan dan konteks nya tiba tiba Gus Dur mengatakan bahwa para anggota DPR masih seperti anak TK (Taman Kanak Kanak). Pernyataan ini sangat ramai dikutip dan bahkan digelembungkan oleh Media, sehingga ketersinggungan anggota DPR semakin menjadi jadi kepada Presiden yang sangat cerdas namun ceplas ceplos itu. Belakangan ketika beliau dilengserkan dari Jabatan Presiden dan diganti oleh wakilnya Megawati Soekarnoputri, masyarakat mengatakan alasannya adalah karena DPR merasa sakit hati disamakan dengan anak TK.
Benarkah demikian? Belakangan saya sendiri melihat bahwa kinerja para anggota DPR kita memang ada hubungannya dengan pendidikan TK.  Khususnya kebiasaan anggota DPR yang sangat getol melakukan kunjungan ke luar negeri untuk study banding. Bahkan DPR pernah melakukan study banding ke Afrika Selatan tentang kepramukaan, padahal Afrika Selatan pun belajar kepramukaan di Indonesia. Hahahahahha, Lucu banget yach... Study Banding ke negara yang jauh yang belajar Pramuka dari Cibubur.
Kunujungan anggota DPR dalam rangka study banding ke Australia dan Ke Jerman pada tahun 2011 dan 2012 bahkan mendapat tentangan yang sangat keras dari para mahasiwa Indonesia yang lagi belajar di kedua negara tersebut. Sebab study banding, hanya istilah. Padahal yang mereka lakukan adalah plesir dan berbelanja yang diongkosi oleh negara. Study banding hanya alasan, padahal yang mereka lakukan adalah bermain, atau main main.
Nah kebiasaan main main para anggota DPR inilah yang belakangan saya lihat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pendidikan TK. Kebiasaan bermain bagi para orang dewasa, sehingga tidak pernah fokus dalam bekerja dan tidak konsisten dalam melakukan pekerjaan besar ternyata mempunyai hubungannya dengan pedidikan di TK.
Dalam kunjungan ke Jerman baru baru ini mata saya sangat terbelalak mendengar konsep atau filosofi pendidikan TK di negara yang paling stabil ekonomi nya di Eropah saat ini. Diterangkan oleh seorang kepala sekolah TK yang dibiayai gereja bahwa, sekolah di TK metodenya harus bermain.
Jelas sekali bermain. Tapi sambil bermain anak anak tidak boleh sendirian. Mereka bermain harus dengan teman, supaya sejak awal mereka dididik bahwa hidup tidak bisa dilakukan sendirian. Mereka dibebaskan bermain apa saja oleh para gurunya, namun disanalah sambil bermain mereka diajarkan untuk berdisplin, tidak menggangu teman temannya yang bermain lain, bahkan berusaha menolong teman temannya untuk menikmati permainannya. Permainan apapun yang dipilih seorang anak harus dituntaskannya. Lalu ada yang bermain sepedaan sambil membonceng temannya yang memegang dan menyeret sapu. Katanya sedang menyapu jalan. Hehehhe.
Nilai nilai hidup, semangat kerja sama, fokus mengatasi masalah jika ditemukan dalam permainan , memakai toilet sendiri dan membersihkannya sehingga anak anak yang lain juga memakainya dalam keadaan bersih menjadi bagian dari kurikulum sehari hari di sekolah sekolah TK. Anak anak tidak diajarkan membaca dan berhitung, karena itu tanggung jawab sekolah dasar kata guru dan kepala sekolahnya. Pendeknya, kurikulum di sekolah TK harus 80 persen bermain. Untuk memastikan jumlah permainan di setiap TK, Dinas Pendidikan TK Jerman akan mengawasi jumlah sarana dan wahana permainan di setiap sekolah. Bahkan pengawasan untuk pendidikan TK lebih ketat daripada pengawasan untuk pendidikan dasar. Alasannya itu tadi, bahwa nilai kehidupan dan etos kerja berawal dalam pendidikan TK.
Saya sempat bertanya kepada kepala sekolah, apa dampaknya jika pendidikan untuk anak TK ini kurang, karena lebih banyak diajarkan menulis dan membaca ataupun berhitung/matematika?  Dengan spontan dan meyakinkan kepala sekolah dan pengajar yang lain, termasuk pendeta yang mendampingi kami menjawab, mereka tidak akan pernah fokus dalam bekerja. Dan tidak bisa membandingkan mana kerja, mana bermain. Jika dalam pendidikan usia TK anak anak kurang banyak melakukan permainan, maka kemungkinan besar mereka tidak bisa membedakan pekerjaan dan permainan. Dan juga kemungkinan besar anak anak akan mempunyai semangat kerja sama yang sangat rendah, dan juga sulit berempati.
Jangan jangan itulah yang terjadi dengan anggota DPR kita. Mereka tidak bisa membedakan mana kerja, mana plesir. Mereka tidak bisa memisahkan mana uang pribadi, mana uang negara. Sehingga saat bekerja pun mereka selalu bermain main, dan tidak punya fokus untuk menyelesaikan tugas tugas kenegaraan atau konsisten serta ber komitmen mengerjakan pekerjaan penting. Juga, jangan jangan rendahnya perasaan empati bagi para anggota DPR dan petinggi negara adalah akibat pendidikan TK di negara kita yang tidak menyediakan waktu bermain. Sebab sekolah sekolah TK di Indonesia semakin bangga jika anak didiknya diterima di sekolah sekolah dasar favorit karena sudah bisa menulis, membaca dan berhitung. Meskipun mereka sangat miskin dalam nilai nilai hidup dan kerjasama?.
Oh, ternyata padangan Gus Dur yang menyamakan anggota DPR dengan TK harus menjadi bahan evaluasi bagi Bangsa kita untuk membenahi pendidikan TK di negara kita. Sebab kalau tidak, maka DPR tidak akan lebih dari lembaga bermain yang mempermainkan uang rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H