Kini patut disadari bahwa masyarakat Indonesia sedikit merasa jenuh dengan jamuan berita yang disajikan oleh media arus utama (mainstream) yang melulu menyiarkan pencaturan pilgub DKI Jakarta. Betapa tidak, selama pemberitaan tersebut begulir telah banyak menguras energi dan waktu bangsa ini demi merumuskan formulasi hujatan apa yang paling mematikan dan menyakitkan lawan politiknya. Kini waktu yang tepat untuk rehat sejenak dan segera menjamu polemik lama yang kini bersemi kembali, yakni Freeport dan masa depan sumber daya alam bumi cendrawasih.
Di awal munculnya polemik ini, salah satu wacana yang mencuat di laman-laman media yakni tentang siapa aktor yang menjadi biang keladi dan paling berdosa atas hadirnya pijakan Freeport yang kini telah bercokol di bumi papua hampir setengah abad ini. Ada yang berdalih bahwa kesengsaraan rakyat papua dimulai pasca “invasi” Trikora (Tiga Komando Rakyat) ala Soekarno yang salah satu dalilnya adalah pengibaran sang merah putih di Irian Barat. Upaya ini sebagai bahasa lain dari “penjajahan” gaya baru terhadap Irian Barat. Namun jamak suara menyatakan dan sepakat bahwa ini adalah dosa jariyah Soeharto atas karpet merah yang digelarnya kepada asing melalui penerbitan dan pengesahan UU No.1/1967 tentang penanaman modal asing (PMA).
Mencuatnya kembali masalah Freeport diawali tatkala PT. Freeport Indonesia dilarang mengekspor konsentrat pasca terbitnya PP nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba). Regulasi ini tidak mengizinkan perusahaan tambang melakukan ekspor apabila tidak berkomitmen membangun smelter untuk mengolah hasil produksinya di dalam negeri. Selain itu, persyaratan lain yang harus dipenuhi pihak perusahaan tambang adalah divestasi 51% saham bagi perusahaan asing, dan mengubah status kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Namun hingga saat ini, pihak Freeport masih enggan bersepakat dengan tawaran yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk mengubah status dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan berdalih merasa keberatan karena merugikan pihak perusahaan. Sementara pihak pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan regulasi baru tersebut bagi setiap perusahaan asing yang ingin mengekspor konsentrat. Sehingga buntut dari sikap tersebut adalah kasus ini akan dibawa ke meja arbitrase internasional yang dilayangkan oleh Freeport atas pemerintah Indonesia.
Potret lain wajah papua
Sejak penandatanganan UU No.1/1967 sebagai langkah perdana pengerukan bumi papua oleh Freeport hingga bergulirnya masalah perizinan ekspor pasca terbitnya PP No.1/2017, tak banyak yang menaruh perhatian lebih terhadap nasib lingkungan dan masyarakat adat setempat. Sikap dingin dan sedikit acuh dari pihak pemerintah terlebih pihak perusahaan tambang mengisyaratkan adanya pembiaran terhadap dampak yang telah terjadi.
Pihak Freeport hanya sekedar bermain aman dengan mengobral kebaikan atas apa telah dilakukannya, bahwa mereka – masyarakat papua- telah merasakan “percikan” laba yang dihasilkan dan segenap manfaat atas kehadiran perusahaan berupa program pengembangan masyarakat sekitar, pengadaan fasilitas kesehatan, sekolah dan berbagai bentuk olahan CSR lainnya.
Perampasan hak tanah ulayat suku amungme, kerusakan sungai sungai akibat dialiri oleh limbah pertambangan yang berakibat kekurangan air bersih, polusi yang ditimbulkan dari penggunaan energi batu bara adalah sederet dosa besar yang kasat mata dan sangat jarang menjadi isu penting nasional tatkala membincang Freeport. Semua pihak terkait hanya fokus pada logika ekonomis dan politis namun abai terhadap aspek yuridis, sosiologis maupun filosofis atas keberlimpahan sumber daya alam yang dihasilkan oleh tanah papua.
Begitu besar dampak yang ditimbulkan dari ulah Freeport ini bagi bangsa Indonesia terkhusus bagi rakyat papua itu sendiri. Namun belum terdapat langkah konkret dari pemerintah untuk segera menuntaskan masalah yang didera rakyat papua. Polemik ini bahkan hadir hampir seumur dengan sejak Freeport pertama kali menginjakkan kaki di tanah papua.
Kemerdekaan yang dirindukan
Membuka mata dan hati sembari menyaksikan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di bumi cendrawasih. Pembunuhan remaja remaja asli papua, perampasan tanah ulayat, penangkapan penangkapan massal dan rusaknya ekosistem alam adalah sederet laku yang mengiris peri kemanusiaan. Pembiaran itu justru dilakukan oleh Negara maupun swasta yang tentunya mendapatkan upaya resisten oleh segelintir masyarakat papua itu sendiri atau perlawanan yang lebih terorganisir dari OPM (Organisasi Papua Merdeka).