Mohon tunggu...
Ahmad Turmuzi
Ahmad Turmuzi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Bekerja sebagai guru di satuan pendidikan dasar, sekarang sebagai Kepala Sekolah di SMP Negeri 4 Jerowaru.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Satuan Pendidikan SD-SMP Satu Atap (SATAP) : Harapan Penuntasan Wajib Belajar (Wajar) Sembilan Tahun yang Terabaikan

7 November 2011   20:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:57 2771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Wajib belajar (wajar) 9 (Sembilan) tahun sekolah menengah pertama (SMP) adalah kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia yang telah tamat sekolah dasar (SD) atau sederajat dengan batas usia 13-15 tahun untuk mengikuti pendidikan SMP atau yang sederajat sampai tamat. SMP termasuk ke dalam jenjang pendidikan dasar, yaitu pendidikan yang lamanya 9 tahun yang diselenggarakan 6 (enam) tahun di SD dan 3 (tiga) tahun di SMP atau yang sederajat.

Dalam rangka menuntaskan atau percepatan wajar 9 tahun itu, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, termasuk melakukan perluasan akses dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak-anak lulusan SD. Misalnya dengan membuka satuan pendidikan SD-SMP/MI-MTs Satu Atap (Satap) atau Pendidikan Dasar Terpadu. Satuan pendidikan ini merupakan pengembangan bentuk SMP/MTs reguler yang lokasinya menyatu atau berdekatan dengan lokasi SD/MI pendukungnya yang terletak di daerah terpencil, terisolir dan terpencar.

Di daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), bentuk satuan pendidikan seperti sudah cukup banyak, yang tersebar di tiap-tiap kabupaten, dan adanya yang diberinama SD-SMP Satap atau Pendidikan Dasar Terpadu, tergantung selera dan kesepakatan daerah kabupaten masing-masing. Hasrat menggebu-gebu pemerintah pusat dan daerah dalam membuka jenjangpendidikan ini, tentu merupakan pewujudan dari keinginan untuk melaksanakan perintah (amanah) undang-undang, dalam memberikan layanan pendidikan bagi seluruh warga negara. Satuan pendidikan merupakan lembaga yang amat penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia untuk dipenuhi dan terpenuhi.

Namun demikian, hasrat besar itu ternyata dalam aktualisasinya tidak diimbangi dengan pemberian dukungan yang maksimal untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas bagi anak bangsa. Di lapangan, khususnya di daerah Kabupaten Lombok Timur, dan wilayah Provinsi NTB umumnya, secara faktual ditemukan berbagai persoalan (kendala) yang menghantui (mengancam) eksistensi penyelenggaraan satuan pendidikan ini. Bahkan terkesan lembaga pendidikan SD-SMP Satap atau Pendidikan Dasar Terpadu yang ada di daerah ini, berada pada kondisi mati enggan hidup pun tak mau.

Kendala yang membelit pendidikan SD-SMP Satap atau Pendidikan Dasar Terpadu yang ada di daerahProvinsi NTB sangatlah kompleks dan tidak mudah untuk mengatasinya, tanpa ada dukungan kuat dari pemerintah pusat dan daerah. Persoalan yang ditemukan menyangkut masih sangat terbatasnya aspek-aspek pendukung terselenggaranya pengelolaan pendidikan yang baik.Persoalan terbatasnya tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana (fasilitas fisik), pelaksanaan kurikulum dan penyelenggaraan proses pembelajaran yang tidak efektif dan efisien, pengelolaan manajemen sekolah, pemberdayaan potensi peserta didik (kompetensi lulusan), pelaksanaan sistem penilaian, dukungan pembiayaan (pendanaan), dan kondisi lingkungan yang masih belum sepenuhnya mendukung kelancaraan penyelenggaraan proses pendidikan, merupakan hal-hal yang mewarnai sulitnya penyelenggaraan dan perkembangan satuan pendidikan tersebut.

Satuan pendidikan SD-SMP Satap atau Pendidikan Dasar Terpadu, diselenggarakan dengan menumpang (digabungkan) pada SD yang ada di satu lokasi. Oleh karena itu, yang kepala sekolah SD setempat sekaligus merangkap jabatan sebagai kepala SMP-nya. Gudung yang dipakai sebagai tempat pelaksanaan proses belajar mengajar, merupakan gedung milik SD. Dengan adanya bantuan dari pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Basic Education Program (AIBEB) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan, beberapa satuan pendidikan ini telah memiliki gedung sendiri (ruang belajar dan ruang perpustakaan). Tetapi masih banyak yang belum punya fasilitas pokok ini, sehingga kegiatan belajar mengajarnya dilakukan pada sore hari, karena pagi hari gedung sekolah dipakai oleh SD sebagai pemilik utamanya. Tentu saja proses belajar yang berlangsung sore hari kurang efektif, apalagi satuan pendidikan tersebut berada di daerah terpencil.

Proses pembelajaran merupakan kegiatan pokok satuan pendidikan. Kegitan inti ini justru tidak mendapat perhatian serius di satuan pendidikan SD-SMP Satap atau Pendidikan Dasar Terpadu. Sistem pembelajaran antara SD dan SMP berbeda, kalau di SD menggunakan sistem guru kelas, sedangkan di SMP menggunakan sistem guru mata pelajaran. Penyelenggaraan ini belum sepenuhnya dapat dijamin. Tenaga pendidik yang diberdayakan sebagai tenaga pengajar sebagian besar merupakan guru SD, yang secara kualifikasi (jenjang) pendidikan tidak berhak mengajar di tingkat SMP. Sementara guru mata pelajaran jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah mata pelajaran. Ada yang tidak memiliki guru mata pelajaran tetap (PNS). Sedangkan yang punya guru mata pelajaran tetap hanya terdapat 1 – 3 orang dalam setiap satuan pendidikan dari 11 orang yang dibutuhkan, sisanya merupakan GTT dan guru SD. Tenaga kependidikannya pun merupakan tenaga pegawai tidak tetap (PTT), bahkan banyak sekolah yang tidak punya pegawai. Oleh karena itu proses pembelajaran berjalan apa adanya, tidak efektif dan bahkan banyak waktu belajar efektif terbuang begitu saja. Hal ini disamping disebabkan oleh letak geografis sekolah yang berada di daerah terpencil, sulit dijangkau, juga disebabkan kecilnya penghasilan atau kesejahteraan (honor) per bulan yang diterima oleh tenaga pengajar yang mengabdikan diri di tempat itu. Ketidak aktifan proses pembelajaran disebabkan juga oleh tidak adanya fasilitas penunjang yang lainnya, seperti buku-buku teks pelajaran yang cukup, gedung perpustakaan, ruang laboratorium (IPA, bahasa, komputer) dan lain-lainnya. Proses pembelajaran yang tidak aktif, efektif dan efesien menyebabkan siswa putus sekolah, pindah ke SMP regular di sekitarnya, dan lulusan SD di tempat itu enggan melanjutkan ke SMP Satap.

Peserta didik yang dapat ditampang di satuan pendidikan SD-SMP Satap atau Pendidikan Dasar Terpadu, umumnya berasal dari lulusan SD di mana satuan pendidikan itu berada (bergabung dengan SD setempat), dan rata-rata jumlahnya tidak banyak, banyak yang memiliki peserta didik di bawah 20 orang, bahkan ada yang hanya memiliki siswa di bawah 10 orang. Kondisi ini menimbulkan persoalan pada minimnya jumlah dana yang diperoleh, karena dana operasional (BOS) jumlahnya dihitung berdasarkan jumlah peserta didik, yang tentu saja tidak akan pernah mencukupi untuk membiayai seluruh kebutuhan di sekolah itu, sebagian besar tersedot untuk membayar tenaga honor atau GTT/PTT, bahkan masih kurang. Begitu juga dengan dana operasional sekolah (DOS), yang berasal dari APBD kabupaten hanya mampu membeli sedikit kertas dan alat tulis kantor, karena jumlahnya juga dihitung berdasarkan jumlah siswa. Untuk memenuhi kebutuhan dana, pengelola sekolah mengambilkannya dari dana BOS SD tempatnya bergabung. Ini tentu membebani dan menggerogoti SD tersebut.

Disebabkan oleh kurangnya dana operasional sekolah, pemberdayaan potensi peserta didik tidak berjalan secara maksimal (optimal), baik kegiatan kurikulernya apalagi kegiatan ekstrakurikulernya (pengembangan diri). Kegiatan pengembangan diri dan ekstrakurikuler hanya diberikan apa adanya dan bersifat insidental, sesuai kebutuhan pada saat itu, bukan didasarkan pada program sekolah yang ditetapkan. Banyak sekolah yang justru tidak memberikan layanan pengembangan diri (ekstrakurikuler) dalam program sekolahnya. Ini tentu saja merugikan bagi peserta didik, karena potensi-potensi yang dimilikinya tidak dapat dikembangkan dan tersalurkan dengan optimal sesuai kebutuhan mereka.

Program pengelolaan atau manajemen sekolah, rencana kerja sekolah (RKS) dan rencana kerja dan anggaran sekolah (RKAS) memang menjadi masalah tersediri bagi SMP Satap. Manajemennya dikelola berdasarkan prisinp-prinsip manajemen SD, yang sesungguhnya memiliki perbedaan prinsip pada beberapa hal. Kurikulum sekolah (dokumen 1) pun tidak disusun oleh sekolah itu sendiri, masih menggunakan kurikulum sekolah lain (SMP regular). Termasuk dokumen 2, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) tidak dibuat oleg gurunya sendiri bersamaan dengan kurikulum sekolah, masih merupakan copy paste dari dokumen sekolah lain. Apa lagi guru-guru di sekolah tersebut jarang sekali terlibat atau dilibatkan dalam pelatihan pengembangan kurikulum dan pembelajarannya. Hal ini tentu saja berdampak besar pada ketidak efektifan dan ketidak efisienan penyelenggaraan proses pembelajaran.

Oleh karena kurikulum (dokumen 1 dan 2) bukan merupakn produk sendiri yang didasarkan atas kondisi sekolah dan kebutuhan peserta didik, serta proses pembelajaran kurang aktif, maka pelaksanaan penilaian (evaluasi) hasil belajar terlaksana apa adanya juga, penyelenggaraannya terkesan hanya untuk menggugurkan kewajiban saja, tidak untuk mengukur secara obyektif. Terkait dengan penilaian dan msalah kurikulum sekolah (dokumen 1 dan 2), SMP regular yang berdekatan dengan SMP Satap sering direpotkan dan dibebani untuk membantu memenuhi kebutuhan itu.

Mengingat berbagai kendala (persoalan) yang ada di atas, maka SD-SMP Satap atau Pendidikan Dasar Terpadu merupakan satuan pendidikan yang terabaikan dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk menuntaskan wajar 9 tahun secara berkualitas dan berkeadilan. Atas dasar itu, proses dan hasil penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan ini, patut diragukan kredibilitasnya. Untuk tidak menimbulkan keragu-raguan, maka pemerintah harus memberikan perhatian dan dukungan yang sungguh-sungguh, tidak menjalankan kebijakan secara setengah-setengah. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dan terpenuhi secara berkualitas dan berkeadilan. Kebijakan yang setengah-setengah tidak pernah membawa hasil yang maksimal, justru terkesan hanya melaksanakan program kebijakan sekedar sebagai pemanis bibir (lipstik). Apabila hal itu tetap dipertahankan, maka tidak ubahnya merupakan obsesi yang tinggal obsesi belaka, lebih besar pasak dari pada tiang, lebih tinggi hasrat (nafsu) dari pada tenaga, lebih banyak teori dari pada hasil perbuatan nyata.

Dihimpun dari beberapa sumber.

Jerowaru Lombok Timur, 4 Nopember 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun