Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Generasi “Aku Aku Aku” Indonesia

27 Juni 2013   10:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:21 1987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13723155151143489690

[caption id="attachment_270889" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Sebuah artikel sampul majalah TIME edisi Mei lalu mengangkat analisis berjudul “The Me Me Me Generation - Why They’ll Save Us All”. Dalam artikel sepanjang enam halaman garapan sosialis Joel Stein itu dituangkan banyak fakta yang menjelaskan mengapa orang muda yang lahir antara tahun 1980 hingga 2000, bisa jadi masalah sekaligus “dinamika baru” bagi perkembangan dunia. Golongan generasi ini disebut sebagai millenial. Dijelaskan, karakter generasi millenial yang paling nampak adalah malas, narsistis dan penuh gengsi, dan cenderung tidak mandiri. Setelah baca rampung artikel ini, saya berpikir bahwa Indonesia punya semua karakter generasi millenial. Stein menggarisbawahi kesimpulan bahwa dengan segala macam sifat kecintaan berlebihan terhadap diri sendiri, abai terhadap informasi-informasi signifikan dan terlalu banyak mengumbar hal-hal yang tidak relevan di internet, generasi millenial akan jadi penanda baru dalam sejarah peradaban. “Millenial tidak mencoba mengambil alih perbaikan dan pengembangan kehidupan, mereka bertumbuh sendiri tanpa perkembangan itu,” tulis Stein. Saya mudah sekali melihat diri saya sendiri di cermin sebagai bagian dari generasi millenial dengan beberapa karakter yang masuk akal. Saya punya Twitter, pernah aktif di Facebook, menggemari fitur obrolan dan berbagi foto, sering mengeluh, malas untuk hal-hal yang sebenarnya baik, dan sangat berat untuk tidak mengikuti tren pakaian ataupun pemilihan gadget. Saya bahkan (di beberapa kasus) tidak tahu mengapa sebetulnya saya memiliki barang ini dan barang itu. Saya menghabiskan banyak uang untuk hal-hal yang tidak saya perlukan. Akan tetapi saya tidak sepenuhnya menyalahkan diri sendiri. Pendapat yang membanding-bandingkan “generasi millenial” dengan generasi Oprah Winfrey, Jennifer Lopez hingga Agnes Monica di Indonesia menurut saya hanya sebuah tolok ukur untuk melihat sejauh mana peradaban (dengan revolusi arus informasinya) membentuk kecenderungan sosial kaum muda. Saya masih senang menikmati jalan-jalan di kawasan Malioboro Yogyakarta di sore hari, saat orang-orang berkumpul di titik-titik keramaian. Memang narsisitas adalah hal yang paling kelihatan, jika saya mengingat masa kecil saya ketika kamera digital masih menjadi visi. Saya memang merindukan masa-masa saat teman-teman jalan-jalan menggenggam keranjang berisi jajanan untuk dijual dan bukannya ponsel berkamera. Di Yogyakarta, sebagai kota dinamis yang lebih dari separuh aktivitasnya melibatkan kaum muda, saya mudah saja menyimpulkan bahwa generasi 1990-an Indonesia membenarkan semua teori di atas. Generasi “aku aku aku” Indonesia terbentuk karena persaingan global yang dipersenjatai kemajuan teknologi informasi. Jumlah kelas tengah Indonesia yang kini menyentuh angka 135 juta jiwa membentuk pencitraan baru bagi kaum muda di lingkungan sosial. Mei lalu saya berbicara dengan Dr. Neila Ramdhani, dosen Psikologi UGM yang terlibat dalam riset pengaruh internet terhadap anak dan remaja. Ia berpendapat bahwa kecenderungan remaja saat ini mengikuti perkembangan teknologi, bukan didasari pada pengertian mereka terhadap dinamika informasi apalagi kemajuan teknologi itu sendiri. Saat seorang remaja SMA membeli iPhone, itu adalah karena dorongan eksternal, dan bukan pemahamannya sendiri terhadap perangkat yang digunakan. “Gadget di zaman sekarang bisa menjadi alat tawar yang kuat untuk mendapatkan posisi sosial,” jelasnya. Seseorang dari kalangan bawah bahkan  bisa merasa menjadi bagian dari kelas tengah bahkan atas ketika mereka memakai semua alat tawar yang dimaksud: pakaian, dandanan, kendaraan, ponsel, dsb. Walaupun itu berpura-pura. Bentuk pencitraan yang tidak terkontrol penuh membawa pada publisitas yang tidak seimbang. Generasi “aku aku aku” dinilai sebagai pemalas dan sangat bergantung, cenderung tidak mandiri apalagi independen. Gemar memperlihatkan kemewahan yang bukan hasil kerja keras mereka alias pemberian orang tua. Mendambakan hasil tapi kurang menghargai proses. Mereka senang orang-orang mengetahui apa yang mereka lakukan dari bangun tidur sampai tidur lagi karena menganggap Twitter memberi kesempatan untuk itu. Sekelompok mahasiswa yang baru lulus mencari pekerjaan di sana sini atau mengikuti Job Fair dan sebagian dari mereka tidak tahu apa yang benar-benar mereka inginkan untuk perbaikan hidup. Pengalaman harian mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu menonton reality show komedi percintaan di televisi atau membaca buku-buku hiburan menjadi pengalihan yang kuat dari pilihan hidup yang seharusnya sudah bisa ditentukan sejak usia 20. Generasi sekarang abai terhadap hal-hal yang di luar minat mereka, atau di luar tren yang mereka ikuti. Generasi ini selalu mendambakan karir cemerlang di perusahaan besar setelah wisuda tetapi mereka kebingungan saat ditanya “apa yang bisa kau lakukan untuk membuat perubahan?” Saat mendapatkan karir baik, mereka tetap memoles diri karena mempercayai bahwa jenis pekerjaan masa kini masih terpisah-pisah dalam kasta. Pe-de vs. narsisitas Sekitar tahun 1970-an para ilmuwan dunia mempelajari pengarauh pengembangan kepercayaan diri bagi anak, yang di Amerika kemudian dikenal sebagai self-esteem, tingkat keempat dari lima tingkatan di teori Piramida Maslow. Kepercayaan diri atau yang di Indonesia sering disebut pe-de benar-benar jadi barang penting untuk diperkenalkan sebagai karakter moral seorang anak sejak lahir. Hanya saja dalam perkembangannya, kepercayaan diri ini menjelma menjadi tak terkendali. Generasi millenial sering kali mengaku kepercayaan diri mereka terbentuk utuh, akan tetapi sulit membedakan pede dengan narsistis. Percaya diri bukanlah memfoto diri sendiri di depan cermin kamar mandi mal ataupun memasang foto di layar ponsel. Percaya diri bukanlah tampil gaya penuh warna di forum publik yang dihadiri oleh orang-orang penting dan terdidik. Kecenderungan keliru mengartikan narsistis sebagai percaya diri akan terlihat lucu, karena orang-orang dari generasi sebelum kita ini akan menemukan sebuah fenomena “transisi teori” yang mengejutkan. Pemaknaan terhadap “kepercayaan diri” justru hilang saat anak-anak muda dengan penampilan necis diminta berpidato di forum publik, kemudian terbata-bata. Perhatikan saja. Banyak anak muda, dari remaja hingga usia 30, terlihat ingin tampil di publik secara visual. Mereka ingin jadi pusat perhatian akan tetapi enggan terlibat dalam publisitas nyata. Suka diperhatikan tapi tidak menunjukkan kepedulian. Narsisitas membawa sekelompok orang ceria dan warna-warni bergabung dengan kelompok lain yang punya kecenderungan dandanan sama, atau selera obrolan yang sama. Uniknya, tingkat kesetiaan dalam kelompok narsistis ternyata besar dan relatif tak bisa disaingi, sebagaimana diuraikan dalam buku Akar Kekerasan - Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia tulisan Erich Fromm. Lingkungan sosial jalanan memberi cap "gaul" tapi tidak mengakui keterlibatan anak-anak muda ini dalam fungsi lingkungan yang sebenarnya. Beruntungnya, kecenderungan kelompok muda Millenial untuk berkelompok dan bergaul lebih luas memberi harapan bagi penyelesaian masalah-masalah sosial lainnya. Walaupun tingkat abai masyarakat meningkat, kelompok generasi "aku" tetap mempercayai bahwa mereka bisa melakukan sesuatu saat mereka hidup serius setelah usia 30. Ungkapan "bagaimana nantinya saja" kiranya akan menyelamatkan pembangunan bangsa yang nantinya akan dilakoni  oleh muda-mudi yang saat ini masih bergaul ke sana ke mari. Bukti bahwa saat ini banyak instansi pemerintah memanfaatkan aktivitas kaum muda guna menuntaskan program-program berkelanjutan menjadi gejala yang menjanjikan. Tetap ada banyak ruang bagi muda-mudi yang mau berpikir relevan dan memiliki visi bagi pembangunan. Generasi “aku aku aku” ala Millenial lahir setelah generasi yang di Amerika disebut sebagai Generasi X. Pendiri Facebook Mark Zuckerburg dan megabintang Lady Gaga jadi penanda penting bagi Millenial dunia, mengakhiri kejayaan generasi sebelumnya ala Warren Buffet dan Jennifer Lopez. Akan tetapi di Indonesia, tampaknya perubahan kejayaan antar-generasi ini belum akan terjadi dalam waktu yang dekat. Generasi X Indonesia setingkat aktris senior Jajang C. Noer, menteri perdagangan Gita Wirjawan atau sejarawan J.J. Rizal masih akan dipertahankan guna menyelamatkan peradaban bangsa. Jujur saja itu masuk akal, karena generasi Millenial kita masih belum muncul ke permukaan. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun