Mohon tunggu...
Adrianus Marsel
Adrianus Marsel Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tinggal di pulau Kalimantan tepatnya di Kalimantan Barat. Senang berkreasi dan percaya akan sebuah keajaiban...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gadis desa yang malang

14 Maret 2013   14:31 Diperbarui: 3 Juli 2016   17:26 3571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1363271386633339504

[caption id="attachment_233051" align="aligncenter" width="640" caption="https://www.google.com/search?hl=id&site=imghp&tbm=isch&source=hp&biw=1366&bih=548&q=wanita+telanjang+di+atas+tumpukan+sampah&oq=wanita+telanjang+di+atas+tumpukan+sampah&gs_l=img.3...234.10575.0.10959.40.10.0.24.0.0.912.4080.0j2j3j1j1j1j2.10.0...0.0...1ac.1.5.img.OlPg-FvOKfo#hl=id&site=imghp&tbm=isch&sa=1&q=gadis+desa&oq=gadis+desa&gs_l=img.3...69734.71628.2.72109.10.10.0.0.0.0.223.1249.4j5j1.10.0...0.0...1c.1.5.img.kRtocH_hckk&bav=on.2,or.r_qf.&bvm=bv.43287494,d.bmk&fp=c2c07d424f9c064c&biw=1366&bih=548&imgrc=RudAYJ5zOgyj-M%3A%3BvOe6CcIARQSA6M%3Bhttp%253A%252F%252Ffarm7.staticflickr.com%252F6111%252F6256769214_d622b512c8_z.jpg%3Bhttp%253A%252F%252Fwww.pelauts.com%252Fgadis%252Fgadis-desa-flickr-photo-sharing.html%3B640%3B425"][/caption]

Rembulan malam mulai memancarkan sinarnya, suasana itu membuat seluruh tubuhku mulai terasa lelah setelah seharian berdiri menanti pelanggan yang hendak membeli produk rumah tangga terpajang rapi di rak-rak etalase salah satu toko di ruasan Mall mewah di kota tempatku merantau. Bagiku, rasa lelah ini belum berakhir karena aku harus menempuh perjalanan panjang melewati kerumunan pemuda pengangguran yang asik menghabiskan kegelapan malam, ditemani minum-minuman keras di tepian teras-teras toko.

Aku adalah seorang gadis desa yang memberanikan diri merantau di kota bersama temanku Ervi, Ia lebih dulu mengecap aktifitas tersebut. Hal itu kulakukan untuk menghabiskan hari-hari demi membahagiakan keluarga yang berpenghasilan pas-pasan bahkan kadang kekurangan. Dengan bermodalkan Ijasah SMA, akupun diterima bekerja sebagai pelayan di salah satu toko di sebuah Mall besar di kota itu.

Biaya yang mahal membuat aku harus tinggal di pinggiran kota. Dengan kawasan super kumuh dari desa yang kutinggal sejak 3 hari yang lalu. Udara tak sedap menyegat, menusuk hingga ke ujung paru-paru. Bau busuk akibat pembuangan sampah tidak pada tempatnya membuat bau itu terus membaur menjadi satu, mengalahkan tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Malam ini adalah malam pertama aku pulang kerja, bersama rekan kerja, kulewati kerumunan pria pengangguran yang lagi asik nongkrong tak tentu arah. Berbagai macam aktifitas mereka lakukan, ada yang bermain kartu, catur dan lain sebagainya. Dari yang berdiri, duduk hingga terkapar di tepian jalan. Suara percakapan mereka terdengar seperti sedang ada perkelahian antara satu dengan yang lainnya. Apalagi ketika melihat wanita cantik melewati kerumunan itu. Bagai serigala haus sinar rembulan. Kamipun tidak luput dari teriakan dan siulan para pria pengangguran itu.Kejadian itu membuat perasaanku bergejolak seakan ingin membalas dengan sebuah teriakan keras sebagai peringatan pada mereka bahwa kami adalah wanita terhormat yang harus dihormati dengan keramahan dan sopan santun bukannya dengan teriakan atau siulan yang kuanggap meremehkan derajat wanita. Namun, keinginan itu lenyap seketika karena gengaman erat tangan Ervi tanpa bersuara sedikitpun. Ia melakukan itu agar aku dapat menahan emosi yang hendak tumpah ruah sejak tadi. Ervi mengetahui apa yang hendak aku lakukan.

Setelah melewati kerumunan, Ervi melepaskan pegangannya dan berpesan kepadaku agar tidak pernah merespon apa yang telah dialaminya barusan. Kamipun berdebat kecil di sepanjang jalan pulang ke rumah hingga membuat kami sampai ke rumah besar, tingkat dua yang diberi sekat menjadi beberapa ruangan kecil untuk memisahkan antara penghuni satu dengan yang lainnya. Termasuk aku dan Ervi.

Aku merasa belum puas dengan perdebatan kecil yang kami lakukan di sepanjang jalan tadi karena belum membuahkan hasil hingga membuatku tidur nyenyak malam ini maka kuikuti Ervi terus hingga ke kamarnya.

“Kak Ervi, aku tidak setuju dengan apa yang kakak katakan tadi. Emangnya kakak mau terus-terusan diganggu oleh pria-pria pengangguran itu” ucapku dengan nada kesal.

“Baguslah kayak gitu, anjing dikasi tulang, ya makin jadi” jawab Ervi enteng.

“Tapikan kita ini wanita baik-baik kak, tidak seperti apa yang mereka pikirkan. Emangnya kakak mau disamakan dengan wanita yang ikut nongrong di pinggiran jalan tadi” ucapku lagi.

“Ini di kota, dek bukan di desa. Kamu mau diperkosa lalu tubuhmu dicincang hingga menjadi beberapa bagian?” jawab Ervi seolah memperingatiku.

“Kitakan bisa melawan dan melaporkan mereka ke polisi sebelum itu terjadi?” balasku penasaran

“Emangnya kamu mampu melawan mereka? Emangnya ada polisi yang mau menjagamu 24jam nonstop setelah kamu melapor? Sekalian aja kamu pacari lalu nikahi tu polisi. Ya sudahlah, nanti kamu juga akan terbiasa kok” jawab Ervi cuek keluar kamar menuju kamar mandi yang terletak di luar kamar penghuni kos-kosan itu.

Aku terdiam dan bergegas menuju kamarku karena mataku sudah mulai tidak bisa dikontrol lagi akibat kelelahan seharian bekerja.

Keesokan harinya, matahari kembali menegurku melalui celah-celah ventilasi kamar yang terpasang tepat di arah terbitnya matahari pagi.

Kuawali dengan melakukan persiapan sebelum kembali bekerja sebagai pelayan toko. Ketika hendak menuju kamar mandi, kulihat dari seberang kamarku Kak Ervi sedang menjemur pakaian.

“Eh, kak Ervi. Nyuci ya hari ini” sapaku dari kejauhan.

“Iya. Kok kamu belum siap-siap. Emangnya tak kerja hari ini” sahut Ervi.

Walaupun kami bekerja di satu tempat yang sama sebagai seorang karyawan di mall, tetapi tempat kerja kami berbeda kami beda. Aku di bagian produk rumah tangga sedangkan kak Ervi ke bagian pakaian dan asesoris.

“Kerjalah Kakak, baru aja sehari kerja kok sudah tak masuk..hehe” candaku tertawa kecil.

Tak selang berapa lama, kami pun tiba di tempat kerja masing-masing. Kesibukan membersihkan sambil menata kembali susunan produk yang rusak berantakan akibat sentuhan tangan pelanggan yang hendak mencoba produk itu membuat kami lupa akan satu sama lainnya. Apalagi jarak antara toko, tempatku bekerja dengan toko tempat kak Ervi bekerja cukup jauh.

Hari ini adalah hari yang tidak biasa dari hari kemarin, entah mengapa dalam benakku bertanya “Hari apa hari ini. Kok begitu ramai orang berbondong-bondong ingin mendapatkan produk-produk yang dipajang di rak-rak etalase toko yang kutunggu. Apakah hari ini, hari khusus buat hambur-hambur uang. Atau hari khusus orang-orang berbelanja atau jangan-jangan karna gara-gara aku yang jaga hingga membuat mereka tertarik datang dan membeli hanya karena ingin melihatku..., Ah... lebay banget sih diriku..”

“Laris manis" ucap kak Ervi yang melintas di depan toko sambil mengedipkan matanya sebagai tanda ingin mengajakku istirahat siang bersama. Namun, tingkah laku kak Ervi itu tidak kugubris sama sekali berhubung banyaknya pelanggan yang menyerbu toko itu. Tak pelak hal itu membuat keringat dingin menguyur di sekujur tubuhku walaupun dalam suasana full AC.

“Ah, berat sekali kerja hari ini. Seberat menimba air dari pegunungan di desaku..” gumamku dalam hati.

Tak terasa waktu semakin terus berlalu. Badan lelah mengerayangiku seakan ruas-ruas tulang ini copot semua. Aku bergegas menutup toko agar tidak ada lagi yang masuk untuk sekedar melihat atau membeli barang-barang lagi. Setelah berselang beberapa jam, aku menghampiri toko tempat ervi bekerja dengan maksud pulang bersamanya lagi. Karena tak mungkin dalam keadaan masih baru begini aku pulang sendirian.

Kulihat dari kejauhan toko tempat kak Ervi bekerja sudah tertutup rapi tanpa seorang penghunipun menetap di toko itu. Pikiranku mulai berkecamuk berlayar tanpa arah yang pasti. “Apakah Ervi meninggalkanku? Ah, tak mungkin, tak mungkin dia akan meninggalkanku sendirian pulang dalam keadaan seperti ini” pikirku dari dalam benak yang terdalam.

Kuambil sebuah hp yang kubeli sejak di bangku SMA, hasil tabungan uang jajan pemberian orang tuaku dulu. Hp ini terlihat usang termakan usia, nyaris tak layak pakai. Namun begitu HP itu selalu kusimpan untuk bekal komunikasi selama di kota ini.

“Kak Ervi di mana?kok tak ada di toko” kira-kira begitulah isi sms yang kukirim ke nomornya kak Ervi. Karna terlalu kelelahan konsentrasiku menjadi tak fokus. Penantian balasan sms dari kak Ervi sepertinya sia-sia karena lama menunggu laporan terkirim hingga beberapa waktu lamanya tak kunjung tiba.

Hati dan pikiranku berkecamuk menjadi satu semakin lama semakin tak karuan. Mungkin HP kak Ervi lowbat tapi bagaimana aku pulang, dengan siapa, bagaimana aku harus melewati kumpulan pria-pria pengangguran yang rutin nongrong di tepian jalan menuju kos-kosan. Tapi apa aku harus tidur di toko ini. Ah, tak mungkin. Aku harus pulang, pokoknya pulang.

Sambil menunggu kabar berita melalui teknologi yang nyaris punah itu, aku memberanikan diri berjalan sendirian mencari oplet yang bisa mempercepat laju perjalanan menuju kos-kosan.

Di dalam oplet aku selalu berdiam diri, tak ada sepatah katapun yang keluar dari dalam mulutku. Hanya pandangan liar menatap permandangan yang menghiasi malam dari celah oplet itu. Indah namun tak seindah bagiku yang sedang melawan rasa takutrasa.

“Sudah sampai, dek” sapa sang supir oplet.

“Oh, Iya Pak. Maaf” jawabku terperanjat, sebab di sepanjang jalan pikiranku melayang bagai layangan putus.

Di kejauhan kutatap arah jalan yang mengarah pada kos-kosan tempat di mana aku dapat merebahkan tubuh ini di kesunyian malam. Hati dan jantungku berdetak hebat semakin kencang apalagi setelah mendengar di ujung jalan, suara teriakan para lelaki yang tidak pernah absen dari tongkrongan itu. Suara sumbang tak mereka hiraukan asal hati senang, bernyanyi, berteriak seakan dunia milik mereka saja.

Perlahan namun pasti terus kukayuh langkahku. “Aku harus berani, berani dengan hal-hal seperti ini. Sampai kapan aku harus terus-terusan bergantung pada orang lain”ucapku dalam hati agar kuat.

Tak lama kemudian tepat berada tak jauh dari tongkrongan pemuda itu, langkahku terhenti sebab dihalangi salah satu dari mereka yang kuyakini telah mabuk berat dari aroma alkohol yang menyengat keluar dari tubuh pria itu.

“Mau kemana gadis cantik” ucap pria mabuk sambil sesekali hendak menjamah wajahku yang penuh dengan ribuan rasa lelah.

“Apa-apaan kamu, aku mau pulang. Tolong jangan halangi aku” jawabku memberanikan diri mendorong dan mempercepat langkahku agar bisa lepas dari cengkraman yang lainnya.

Pria itupun jatuh terjuntai memeluk botol minuman keras yang selalu diteguknya sedikit demi sedikit sambil berkata “Mau kemana gadis kecilku, kejar dia..kejar”

Kutatap sinis pria itu dari kejauhan. Kini aku merasa lega sebab kerumunan itu telah kulewati walau penuh dengan hamparan jiwa dan raga yang tak tentu rudu. Aku merasa diriku telah aman dan kupastikan diriku bisa segera tiba di kos-kosan agar bisa merebahkan diri untuk mengembalikan jiwaku yang hilang dari kerja seharian.

Namun, tak lama kemudian, “Buukk” suara keras itu terdengar keras tepat di samping telingaku. Pukulan keras terasa di belakang punda, pandangan bagai penuh dengan binatang kecil yang menari-nari, berterbangan seolah tertawa riang dalam kesusahan. Pandangan itu semakin lama semakin gelap. Sekujur tubuhku terasa lemah gemulai, dingin dan akhirnya akupun mengakhiri masa indahku hari itu.

Tak lama kemudian aku merasa ada sesuatu yang aneh di dalam diriku. Seluruh tubuhku terasa dingin teramat sangat dingin, kaku, seakan ada yang menganjal di punggungku. Tajam dan terasa sangat perih. Nafasku tersendat-sendat mencium aroma busuk tepat di indra penciumanku. Kubuka perlahan mataku, cahaya putih mulai menampakkan dirinya dalam hidupku. Aku terkejut setelah mengetahui diriku terbaring di atas tumpukan sampah tanpa mengenakan sehelai benangpun. Aku terkubur dalam tumpukan sampah. Badan ini terasa berat untuk bangkit dari tidurku hingga kutatap langit seakan bersedih menatap diriku yang kuanggap hina. Hingga akhirnya turunlah tetesan air dari langit sedikit demi sedikit hingga menguyur deras membuatku semakin tak berdaya dan kembali melanjutkan tidur panjangku...,

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun