Mohon tunggu...
Adi Sutrisna
Adi Sutrisna Mohon Tunggu... -

'berjuang terus'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sedikit Mengulang Berita 2011 tentang 'Diskusi Lakon-lakon Wayang Sunan Kalijaga'

26 Agustus 2012   16:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:17 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keanggunan budaya pada suasana diskusi sore itu semakin terasa, ketika salah seorang penanya melantunkan tembang Dandanggula mencoba mengekspresikan apa yang dirasakannya sekaligus sebuah apresiasi beliau atas upaya panitia dalam memperingati 500 tahun Sunan Kalijaga. Sang pelantun tembang bernama Siswoto ini juga sekaligus bertanya kepada sang panitia atas apa makna 500 tahun pada acara ini, karena dirasa angka ini tidak merujuk pada hari lahir maupun tanggal wafatnya Sunan Kalijaga. Pertanyaan yang kemudian memberikan kejelasan, bahwa 500 tahun dimaksudkan panitia merujuk kepada momentum saat Belanda mulai meningkatkan tekanannya kepada kerajaan Demak, sehingga penguasa Demak yang sadar akan kekuatannya lebih memilih memberikan perlawanan dengan menanam akar budaya yang kuat. Dalam rangka itulah, diutus Sunan Gunungjati ke barat, Sunan Gresik ke timur, dan Sunan Kalijaga ke selatan. Inisiasi peristiwa ini yang kemudian membuat ajaran nilai-nilai budaya Jawa bisa dimaknai dalam sebuah koridor aqidah keimanan Islam, serta dalam sudut pandang Islam, budaya Jawa bisa menjadi identitas unik dalam rangka mengamalkan syariat Islam. Adalah yang secara khusus dilakukan Sunan Kalijaga. Sehingga peringatan ini adalah untuk mengenang dan memaknai kembali atas apa yang dilakukan Sunan Kalijaga pada kurun waktu peristiwa itu.

Bagi saya, Sunan Kalijaga adalah figur yang luar biasa. Kita patut bersyukur ketika perjalanan bangsa ini mendapat pencerahan dari pemikiran-pemikiran beliau. Sunan Kalijaga tidak sekedar Waliullah syiar Islam di tanah Jawa, lebih dari itu beliau adalah seorang seniman dan budayawan Jawa. Dan karya-karyanya, bagi saya selain memiliki nilai seni tinggi, juga merupakan karya intelektual yang mengandung inspirasi yang tak akan pernah habis untuk ditelaah dan didiskusikan.

Kalijaga telah membawa dua dimensi -dengan sejarah peradabannya masing-masing- sehingga bisa berjalan secara beriringan dengan sejuk dan menentramkan. Yaitu dimensi peradaban Islam dan dimensi peradaban Jawa.

Islam adalah wahyu Ilahi. Sebuah rahasia-Nya ketika wahyu ini diturunkan di tanah Arab. Ketika wahyu tersebut di ‘baca’, dipelajari, dipersepsikan, ditafsirkan, maka disanalah terdapat tafsir Aqidah Islam dan evolusi budaya Islam. Konflik dan segala macam bentuk pemaksaan kehendak oleh sebagian kecil umat Islam, menurut saya adalah akibat dari kegugupan seseorang ketika sulit membuat garis batas yang jelas antara keduanya, yaitu antara tafsir Aqidah Islam dengan budaya Islam yang berkembang. Apalagi ketika juga tedapat kelompok-kelompok yang menurut saya berlebihan ketika disana juga mencoba menerapkan budaya Arab dalam keseharian, sementara kita hidup di Indonesia. Sebuah salah kaprah ketika orang tidak bisa melihat lagi garis pemisah antara budaya Islam dan budaya Arab.

Sementara itu, dimensi peradaban Jawa, juga memiliki sejarah sendiri dengan segala macam nilai di dalamnya. Disana juga mungkin ada akulturasi budaya Hindu dan Budha, walaupun sepanjang saya tahu, masih banyak perdebatan tentang gelapnya sejarah apa yang sebenarnya terjadi di tanah Jawa terutama sebelum abad ke-8, tapi bagaimanapun juga peradaban ini memiliki karakter dan nilai yang tidak bisa serta merta ditutup begitu saja kemudian digantikan oleh suatu hal dengan mengatasnamakan kebenaran yang bisa jadi masih dalam perspektif sepihak.

Disanalah kita melihat sosok luar biasa Sunan Kalijaga. Keimanan dan Aqidah Islam harus di-syiarkan, dan Kalijaga merasa bertanggung jawab melakukan itu. Tapi diluar dari itu, Kalijaga sangat menghargai budaya leluhur, sehingga diciptakannya akulturasi budaya Islam-Jawa dengan identitasnya sendiri. Sehingga kita merasa yakin dengan keimanan akan Islam, sambil kita tidak perlu untuk membawa-bawa budaya Arab, dalam melaksanaan syariat Islam.

Wayang adalah budaya Jawa. Tapi saya bisa membawa kesimpulan bahwa lakon-lakon carangan Sunan Kalijaga tidak hanya sekedar budaya Jawa, tapi lakon itu adalah budaya Jawa yang Islam, atau boleh juga kita sebut Islam yang Jawa. Silahkan anda coba mengawali perspektif itu darimana saja –apakah dari ke-Islam-annya, atau ke-Jawa-annya-, semua akan bermuara pada ajaran yang salah satu diantaranya dibawa Sunan Kalijaga.

Diskusi yang berlangsung singkat pada hari Sabtu tanggal 23 Juli 2011 kemarin di pendapa Taman Siswa Yogyakarta itupun, saya pikir tak akan mungkin untuk bisa mengupas tuntas hal sesuai judulnya, lakon-lakon Wayang Sunan Kalijaga, karena lakon-lakon itu begitu dalam, luas, dan tak akan pernah selesai ditelaah dan didiskusikan. Kita bisa melihat bagaimana tafsir tentang Dewa Ruci takkan pernah habis untuk didiskusikan, bahkan mungkin bisa terasa kesegarannya, ketika perspektif baru justru muncul disana dalam penelaahannya. Atau mungkin kisah Makutarama, yang bagi saya, ketika saya semakin kesini mengulang membaca dan merenunginya, anehnya justru semakin terasa memiliki muatan ilmu kepemimpinan modern barat -mungkinkah teori kepemimpinan barat yang saat ini banyak diajarkan juga mengambil inspirasi dari ajaran Makutarama? Entahlah..-. Atau misal makna karakter Batara Kala yang dimunculkan Kalijaga, sementara tokoh itu tak ada di kitab Mahabarata. Juga arti filosofis kehadiran karakter Punakawan, atau misal tokoh Antasena yang ‘berbau’ sosok sufi, dan sebagainya. Butuh diskusi sepanjang masa!

Tapi paling tidak, saya sangat mendukung panitia dalam hal ini, ketika diskusi umum tentang ajaran Sunan Kalijaga yang baru pertama kali diadakan ini, dimulai. Sehingga diharapkan akan diikuti kajian-kajian serupa tidak hanya dilingkungan eksklusif akademisi tapi juga menjangkau siapa pun sebagai bahan inspirasi maupun perenungan hidup ditengah gaya hidup yang serba ingin instan dewasa ini.

Seperti juga yang saya garis bawahi dari salah satu pembicara saat itu, Herman Sinung Janutama, yang mengatakan bahwa ajaran Sunan Kalijaga ini, adalah sebuah ajaran yang inklusif, artinya merupakan hak semua orang –bukan kalangan tertentu saja- untuk bisa mendapatkannya, merenunginya, dan mendapatkan manfaat darinya. Sehingga tentunya menjadi tanggung jawab kita semua untuk bisa membuat agar informasi ini bisa dengan mudah terjangkau bagi siapa pun.

Sementara dari pembicara yang lain, Bondan Nusantara, dari semua hal yang diwacanakannya, saya menangkap kerinduannya akan betapa saat ini bangsa kita sangat kering akan munculnya tokoh-tokoh berkarakter yang memberi teladan sebuah nilai kehidupan sambil memberi muatan apresiasi akan penghargaan kita terhadap leluhur kita sendiri yang telah ‘bongkar-pasang’ memberikan pembelajaran akan makna kehidupan yang bisa membangun sebuah karakter bangsa, bangsa kita sendiri!

Saya sendiri berharap akan semakin banyak diskusi serupa. Diskusi yang selain memuat nilai-nilai kehidupan, juga memuat upaya penggalian kita terhadap budaya kita sendiri. Dan yang lebih penting, hal-hal ini seharusnya banyak diliput media, banyak menjadi ‘ocehan’ di internet. Bukan justru pemberitaan media kita penuh berisi liputan-liputan yang membuat diantara kita sendiri menjadi saling curiga. Terutama generasi anak-anak kita, mereka butuh sesuatu yang mencerahkan yang selalu menjadi keseharian mereka, bukan justru hal-hal yang mendorong mereka untuk melecehkan bangsa dan pemimpin mereka sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun