Mohon tunggu...
Abdy Busthan
Abdy Busthan Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis Pendidikan

Penulis, Peneliti dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik

Korupsi, Sebuah Keabadian Tak Berujung

10 Maret 2017   21:20 Diperbarui: 10 Maret 2017   21:34 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Memang aneh dan betul-betul aneh! Sekaligus menyedihkan. Tindakan korupsi yang dilakukan para koruptor di negeri kita, ketimbang hilang, bahkan makin marak saja. Ada kesan malah makin hebat. Beberapa hari lagi para tersangka koruptor E. KTP akan dihadapkan ke depan Pengadilan. Tidak tanggung-tanggung. Hitungan uang sudah trilyunan. Jumlah yang tidak terbayangkan, apa lagi bagi rakyat kecil yang pendapatan perharinya tidak lebih dari 5 ribu rupiah. Atau pendapatan sopir taksi dewasa ini yang tidak lebih dari 200 ribu rupiah. Ini korupsi berjamaah. Yang nanti nama-namanya disebut dalam Pengadilan, konon adalah mereka yang public figure, baik di lembaga eksekutip maupun legislatip.

Kalau sudah begini, masihkah ada harapan bagi negeri kita? Ini nyaris merupakan pertanyaan retorik. Dulu, di awal era Orde Baru, pemberantasan korupsi juga sudah dilaksanakan. Tidak kurang dari Bung Hatta dan para tokoh berintegritas lainnya diangkat sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi. Tetapi pada akhirnya Bung Hatta putus asa. Beliau mengatakan kurang-lebih:"Korupsi sudah merupakan budaya bangsa ini." Kalau tidak salah pernah ada buku yang membahas persoalan korupsi secara sosiologis dari Alatas (?) berjudul, Sosiologi Korupsi. Hendak dikatakan bahwa asal-muasal dan motivasi korupsi memang berakar di dalam relasi-relasi sosial seperti patron-client. Apakah tesis itu masih berlaku, tentu harus diteliti lagi.

Faktanya adalah korupsi makin menjadi-jadi kendati KPK tidak kurang giatnya menangkapi kaum koruptor. Bahkan Operasi Tangkap Tangan tidak kurang dilancarkan. Menarik, sepertinya orang tidak merasa malu melakukan tindakan keji ini. Masih berani lagi tampil di depan kamera TV. Bahkan jubah oranye dari KPK dianggap sebagai jubah kebesaran. Betul-betul tidak mampu lagi malu. Kita juga gagal faham mengapa orang gagal malu.

Lebih menarik lagi, ada pejabat yang mati-matian memberantas korupsi, tokh diseret-seret juga seakan-akan dia pun tergolong di barisan para koruptor. Dia dimusuhi. Konon, pejabat itu pernah mengatakan:"Tidak usah anda mengangkat senjata untuk disebut pahlawan. Kalau anda tidak korupsi saja, anda sudah pahlawan."

Sebenarnya negeri kita akan sangat maju kalau saja uangnya tidak dikorupsi. Dulu Profesor Imam Santosa, Dekan Fakultas Psikologi UI memperkenalkan istilah baru, "CORTAS". Ini singkatan dari " Bocor ke atas". Maksudnya "upeti" yang wajib dibayarkan ke pejabat yang di atas alias "Atasan". Jangan pernah harap dana cair, kendati sudah dipatok dalam Program sebelum anda membayar upeti. Memang gawat sekali.

Ya, korupsi memang sebuah keabadian yang tak berujung di negeri ini. Masih adakah harapan? Ya, boleh optimis. Tetapi tanpa tindakan nyata, optimisme itu dengan segera menjadi sirna. Merdeka!

Sumber:  Yewangoe A. A (2017). KORUPSI DAN KORUPTOR YANG TIDAK KUNJUNG MEREDA. diakses tanggal 10 Maret 2017, pada pukul 22.16 Wita

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun