Mior Dadin
Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Sikka
Tedo tembu Wesa wela, Gaga Bo'o Kewi Ae.
(Pekerjaan menanam dan menabur akan menuai hasil yang melimpah seperti air yang mengalir).
(Pelepata Sara Lio/Pepatah Bahasa Lio)
Keprihatinan atas berbagai problem penyelenggaraan pendidikan di Kabupaten Sikka harus dijawab dengan program yang strategis agar dapat menyelesaikan akar-akar persoalan pendidikan di Kabupaten Sikka. Selain kondisi riil terkini terkait prestasi akademis, lapisan-lapisan sejarah yang tersedimentasi dalam pembentukan masyarakat Sikka masih menyisakan potensi munculnya konflik baik horizontal, vertikal, maupun gabungan keduanya.
Perlu tindakan afirmatif agar masyarakat kembali dapat membangun kehidupan bersama yang lebih baik, adil, dan beradab sehingga masyarakat sungguh-sungguh mendapatkan keadilan substantif. Salah satu cara untuk menghidupkan kembali nilai-nilai lokal adalah melalui pendidikan di sekolah. Nilai-nilai yang sudah tumbuh subur dalam rahim kultur masyarakat Sikka ini perlu dihidupkan lagi dan dikembangkan sesuai dengan perubahan zaman.
Salah satu butir yang direkomendasi oleh World Conference on Cultural Policies (1982): “kebudayaan merupakan bagian yang fundamental dari setiap orang serta masyarakat, dan karena itu pembangunan yang tujuan akhirnya diarahkan bagi kepentingan manusia harus memiliki dimensi kebudayaan”. Harkat dan martabat suatu bangsa, di samping hal-hal lain, juga ditentukan oleh tingkat kebudayaannya. Demikian pula, keunggulan budaya suatu bangsa, begitu bergantung pada daya dukung masyarakatnya sebagai pewaris sekaligus sebagai agen kultural yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat tersebut. Dalam konteks semacam inilah situasi "sadar budaya," yakni, di satu sisi, kesadaran terhadap keserbanekaan bahwa kita sebagai bangsa tidak pernah selalu bersifat singular, tetapi plural; sementara pada sisi lain, kita pun tidak bisa mengisolasi diri untuk tidak bergaul dengan bangsa-bangsa lain berikut budayanya, menjadi semacam imperatif yang mendesak untuk diaktualisasikan lewat berbagai upaya yang dimungkinkan, termasuk di dalamnya lewat "pendidikan" (baca: pembudayaan) apa pun bentuk pendidikan itu: formal-informal.
Dari hasil beberapa kali pertemuan dengan guru-guru dari dua sekolah pilot dan sekolah imbas di Kecamatan Doreng berhasil disusun rencana strategis dan modul-modul pembelajaran yang bertolak dari filosofi budaya SikkaMior Dadin. Mior Dadin berasal dari kata: mior berarti baik; hebat atau unggul dan dadin berarti: tetap berkesinambungan, kontinyu atau selamanya.Pendidikan kontekstual Mior Dadin artinya pendidikan yang terjadi terus menerus mulai dari keluarga, dengan melibatkan berbagai pihak yang bersumber dari nilai-nilai budaya dan alam lingkungan setempat yang mampu membentuk manusia yang berkarakter baik, cinta lingkungan, hemat dan mandiri.
Pendidikan kontekstual berbasis budaya dengan model pendidikan Mior Dadin bersumber dari tiga pilar yaitu:Modung Mior (karakter yang baik), Da’an Dadin(lingkungan hidup), dan Na’i Nalun(pemberdayaan ekonomi). Dari ketiga pilar ini diwadahi dalam tujuh unsur kebudayaan versi Koentjaraningrat kemudian dirinci dalam sejumlah Kompetensi Dasar beserta indikatornya sebagai landasan dalam penyusunan modul pembelajaran dari Kelas 1 s.d. 6. Semoga benih baik yang mulai disemai ini tumbuh subur dan menghasilkan buah yang berlimpah. Ut sementes faceris ita metes (Seperti engkau sudah buat pada waktu menabur, demikian engkau akan menuai).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H