Mohon tunggu...
Blasius Mengkaka
Blasius Mengkaka Mohon Tunggu... Guru - Guru.

Alumnus Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Tahun 2008. (1). Pemenang Topik Pilihan Kolaborasi "Era Kolonial: Pengalaman Mahal untuk Indonesia yang Lebih Kuat", (2). A Winner of Class Miting Content Competition for Teachers Period July-September 2022. (3). The 3rd Winner of Expat. Roasters Giveaway 2024. Wa: +6281337701262.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Animal Symbolicum

12 Desember 2013   10:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:01 4798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Adalah filsuf Ernst Cassirer-lah yang mengartikan manusia sebagai animal symbolicum (Ernst Cassirer, An Essay on Mann, New Heaven: Yale Universiy Press, 1944, seperti dikutip oleh Jujun S. Suria Sumantri dalam Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: PT Pancaranintan Indahgraha,1982, hal. 171)).  Menurut Cassirer, manusia sebagai animal symbolicum memiliki cakupan yang lebih luas dari homo sapiens atau manusia sebagai makhluk berpikir. Homo sapiens agak lebih rendah dari animal symbolicum sebab keunikan manusia sebenarnya bukan pada kemampuan berpikirnya namun bahwa dengan kemampuan berpikirnya yang rasional manusia mampu menggunakan symbol sebagai wujud nyata kemampuan manusia dalam berbahasa. Tanpa bahasa tulisan, kegiatan manusia yang sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilaksanakan. Tanpa bahasa tulisan, manusia akan kehilangan kemampuannya untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi berikutnya.

Filsuf Adolfus Huxley mengatakan bahwa tanpa bahasa tulisan, manusia tidak berbeda dengan anjing dan monyet. Dengan bahasa tulisan, manusia dapat berpikir rumit dan mampu mengkomunikasikan pengetahuannya kepada orang lain. Huxley mengatakan bahwa, 'mungkin terdapat genius di antara para gorilya, namun karena para gorilya itu tidak memiliki bahasa maka buah pikiran dan penemuan genius itu tidak tercatat dan menghilang begitu saja". Dengan bahasa, manusia dapat berpikir secara abstrak dan nyata.  Musik dapat disebutkan sebagai salah satu bentuk bahasa manusia di mana emosi terbebas dari informasi. Fungsi simbolik dari bahasa menonjolkan komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi emotif menonjolkan komunikasi estetis. (Huxley seperti dikutip Jujun S Suriasumantri, 1982)

Manusia ialah makhluk yang menonjokan simbol di mana simbol menyembunyikan makna yang hanya dapat dimengerti melalui belajar. Umpamanya: simbol lalulintas berupa lampu berwarna hijau berarti boleh terus berjalan, lampu warna kuning berarti boleh berjalan namun harus hati-hati serta simbol lampu warna merah berarti berhenti sama sekali. Demikianpun simbol bendera merah putih yang merupakan lambang negara Indonesia di mana putih artinya suci dan merah artinya berani. Bahkan dalam iman katolik, simbol dan lambang mengalami transformasi dalam iman itu sendiri, misalnya roti dan anggur merupakan lambang tubuh dan darah Kristus, di mana melalui peristiwa konsekrasi, lambang tubuh dan darah Kristus itu telah benar-benar diubah menjadi tubuh dan darah Kristus dalam rupa roti dan anggur.

Ada sifat-sifat yang disebut sifat transendensi seperti baik, benar, satu, tinggi. Sifat-sifat transental ini belumlah sempurna sebab yang baik, yang satu, yang tinggi dan yang benar, menuju kepada adanya sesuatu yang Maha. Sesuatu itu diyakini sebagai wujug tertinggi yakni Tuhan sendiri. Maka adanya yang baik menuju kiblat kepada adanya Maha Baik, demikianpun benar menuju ke Maha Benar dan adanya satu menuju ke Maha Esa. Wujud transendensi tertinggi hasil dari adanya sifat-sifat pada benda seperti baik, benar, satu, tinggi ialah Maha yakni Tuhan. Sehingga lengkapnya adanya sebutan kepada Sang Wujud Tertinggi itu sebagai Tuhan Maha Benar, Tuhan Maha Esa, Tuhan Maha Tinggi. itu terjadi karena manusia merupakan animal symbolicum , yakni makhluk yang mampu berbahasa baik secara tulisan maupun lisan. Dengan bahasa manusia dapat mengembangkan pengetahuan ilmiah-abstrak dan pengetahuan estetika demi memajukan kebudayaannya sepanjang segala periode kehidupan manusia .

___________________________________________

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun